Pura-pura lupa

3 6 0
                                    

Zephyr pov
Aku menghadap ke cermin berulang kali, memoles bedak dan menghapusnya lagi, bersiap pergi ke rumah sakit, aku harus tampil sempurna walau aku sadar, ia tak akan menatapku seperti dulu. Aku mengenakan gaun putih selutut dan sebuket bunga di tanganku yang sudah kusiapkan kemarin khusus untuknya. Aku keluar dari kamarku, menemukan mama sibuk dengan praktikumnya, mamaku bekerja di sebuah perusahaan kosmetik di Jerman, hari ini ia pulang, namun ia tetap berkutat dengan praktikumnya, karena jarang yang terbentang, aku pun tak begitu akur dengannya. Ia menoleh ke arahku, aku mengacuhkannya, mengambil kunci mobil hendak pergi.

"Zephyr, mau ke mana kamu?!"

"Ke rumah sakit."

"Mau ke rumah sakit."

"Untuk apa kamu ke rumah sakit?"

"Bukan urusan mama, kan?!"

"Anak ngga punya etika, di tanya baik-baik.."

"Zephyr pergi." potongku, aku tidak pernah berpikir untuk bicara baik-baik dengan wanita berkepala tiga itu. Secepatnya aku menyetir mobil ke rumah sakit, aku menarik napas dan menghembusnya lagi, menenangkan emosi yang selalu menyelimutiku ketika berbicara dengan mama. Aku membuka ruang rawat Raka—mantanku sewaktu SMP—pelan, mengintip ke dalam, memastikan tidak ada orang di dalam sana, ruangan itu kosong. Ku tatap tubuh kaku Raka, rasa untuk memeluknya begitu kuat, tapi ku kubur dalam-dalam perasaan itu. Tangan Raka bergerak lemah, menandakan kesadarannya mulai kembali, aku tidak tau apakah aku harus berterima kasih atau menyalahkan Tuhan atas kesadaran Raka. Aku hanya berdiri kaku melihat jari-jari Raka terus bergerak meraba sesuatu, hingga sebuah rintihan ketakutan keluar dari mulut Raka.

"Ma.., mama.." mata Raka perlahan terbuka, ia menatapku bingung, beberapa saat ia memejamkan kedua matanya, mengingat sesuatu.

"Zep, zephyr kah?" aku tersenyum tipis sebelum mengangguk.

"Zephyr, mama gue mana?"

"Mama Ulza?"

"Iya."

"Gue nggak tau, Ka."

"Lo masih pacar gue kan? Phyr?" senyuman tipis Zephyr berubah menjadi kecut. Hatinya membatin 'kalo bisa gue pengen jadi pacar lo lagi, walau cuma pura-pura.'

"Kita udah lama putus, Ka. "

"Nggak mungkin. Lo becanda kan?"

"Hubungan kita udah lama nggak ada, Ka. Lo amnesia ya?"

"Amnesia? Haha nggak mungkin lah."

"Kalo lo ga amnesia lo ingat Michel nggak?"

"Apa? Michel? Nggak Pernah denger tuh. Siapa?"

"Lo bener amnesia deh, Ka. Gue panggil dokter dulu buat periksa lo."

Raka pov
Zephyr keluar kamar rawatku, kepalaku terasa berat karena berusaha mengingat puing-puing ingatan yang sedari awal aku kumpulkan. Zephyr,  Askar, mama, papa, kak Karra, dan dokter Anzus, hanya itu nama yang aku ingat. Michel, Michel, dan Michel, nama itu terus berputar di kepalaku, aku menarik nafas panjang lalu menghembusmya. Ah, Michella Raina Aksara, gadis paling jutek se-SMA Ben yang menjadi pacarku selama satu semester ini. Sepertinya ia sering menjengukku, namun sialnya aky malah sadar saat Zephyr—mantanku sewaktu SMP yang selingkuh dariku—datang. Berengsek! Mungkin Michel akan datang beberapa saat lagi, sebaiknya aku pura-pura amnesia saja, dengan itu aku akan tau jika ia benar-benar mencintaiku atau tidak. Aku perlu rencana.

'Rencana bagus, Ka. Tapi jangan nyesel kalo Michel bakal bener-bener ngejauh.'

Author pov
Zephyr segera kembali ke ruang rawat Raka, dokter Anzus telah memeriksa Raka lantas menyatakan bahwa Raka  amnesia sementara, mungkin amnesianya akan berlangsung dua sampai tiga hari atau durasi paling lama seminggu. Dokter Anzus keluar dari ruang Raka, setelahnya terlihat Ulza masuk, ia langsung memeluk putra bungsunya.

"Raka.., Raka udah sadar nak? Ada yang sakit?"

"Kepala Raka sakit, ma." keluh Raka.

"Sini biar mama elus."

"Makasih ma."

"Sama-sama sayang. Zephyr kok ada disini?"

"Eh, iya tante. Mau jenguk Raka, dapet info dari temen katanya Raka kecelakaan."

"Oh.., gitu. Udah lama kita nggak pernah ketemu, kamu makin cantik aja. Gimana kabarnya?"

"Baik tante."

"Mama kamu masih kerja di Jerman? "

"Masih tante, tapi udah pulang."

"Kalo sempet main ke rumah tante ya!"

"Iya tante."

"Tante. Kata dokter Raka amnesia sementara, ada beberapa hal yang dia lupa, salah satunya; Michel." Michel hendak membuka pintu ruang rawat Raka mengurung niatnya, berlari sejauh  mungkin tanpa tujuan, air matanya mengucur deras, ia kira sadarnya Raka akan membawa kebahagiaan, namun ia salah, dari sekian banyak ingatan yang Raka punya mengapa harus Michel yang Raka lupa?

Kini Michel berjalan lunglai di jalan raya. Devan menghentikan mengantar Michel langsung mencari keberadaan gadis itu, setelah tau ia tak ada di ruang rawat Raka, ia mencari ke seluruh rumah sakit, hasilnya nihil. Ia menemukan Michel nyaris saja hampir tertabrak.

"Kalo jalan liat-liat dong! Mau mati?!" seru seorang pengendara yang hampir menabrak Michel.

"Iya pak, maaf." Devan meminta maaf atas Michel. Devan menepi, mematikan mesin motornya, menarik Michel mendekat padanya, menangkupkan kedua tangannya di pipi Michel, menghapus jejak air mata di pipi Michel.

"Jangan pernah bikin sesuatu yang bisa ngebahayain diri lo sendiri. Lo berharga banget buat gue. Gue nggak mau kehilangan adek gue, meskipun kita nggak punya ikatan darah." Michel terisak, ia membenakan wajahnya di dada Devan.

"Maaf,"

"Jangan gitu lagi."

"Raka amnesia, dia lupa sama Michel."

"Hem, gue paham. Tapi nggak gitu caranya lampiasin emosi lo."

"Tapi kenapa harus Michel?! Kenapa bukan borang selain Michel?! Apa Michel nggak penting di hidup Raka?! Apa Zephyr lebih penting?!"

"Zephyr itu siapanya Raka?"

"Mantannya Raka pas SMP."

"Pantes cemburu."

"Ih apaan!"

"Cie cemburu.."

"Kak Devan ngeselin!"

"Sorry, mau pulang?"

"Iya."

"Senyum dulu." paksa Devan, Michel memaksakan bibirnya tersenyum.

"Gemes!" Devan mencubit pipi Michel, spontan Michel menonjok perut Devan. Devan mengaduh, setelah beberapa detik ia menghidupkan mesin motornya, mengantar Michel kembali ke asrama. Di gerbang asrama, Felic sudah menunggu. Michel berhambur ke pelukan Felic, membuat empu yang dipeluk keheranan, tak biasanya Michel seperti ini. Felic perlahan mengusap pungung Michel, menyimpan pertanyaan kenapa di dalam pikirannya.

"Fel, jaga adek gue!" perintah Devan.

"Iya kak."

Dalam sekejap Devan menghilang dengan motornya, Felic memegang bahu Michel, mengajaknya masuk ke dalam, membuat secangkir latte dan berhenti menangis, mengusap punggungnya berulang kali. Sikap Michel kembali seperti saat ia kehilangan mamanya; lemah, ketakutan, dan sering melamun. Seketika Michel yang jutek, gadis yang tidak disukai sebagian orang karena ucapannya yang tidak difilter menghilang. Michel menghadap kaca jendela, menatap bulanberainar malam ini ditemani bintang-bintang.

"Kenapa harus Michel, ma? Kenapa harus Michel yang selalu ngerasain nggak enaknya kehilangan?" Michel terus menerus bertanya, walau tidak akan ada jawaban yang didapatnya. Isak tangisnya terdengar, Felic menenangkan Michel, mengusap punggung Michel lagi.

"Chel, udah nangisnya ya." pinta Felic.

"..."

"Michel, emang kalo lo nangis lo bakal dapet apa yang lo tangisin?"

"..."

"Michella, cerita sama gue apa yang buat lo nangis?"

Udah jam satu aja, besok puasa kan readerss?
Yang semangat puasanya okee!!
Semoga part ini ngehibur puasa kamu!
Sayang readers❤









Michella [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang