History of Nakula

1 2 0
                                    

Derap langkah kaki menuju kelas XI-3 IPA terdengar. Seorang laki-laki mengucapkan salam di pintu kelas.

"Ini kelas XI-3 IPA kan?" kelas yang kebetulan kosong, karena guru mata pelajaran jam itu sedang cuti pasca melahirkan. Seisi kelas mengalihkan intuisi ke arah pintu kelas, rambut acak acakan, wajah kearab-araban, tak lupa jaket kulit di bahunya.

"Nakula?!" Michel yang pertama menyadari membuat semua orang heboh akan kehadirannya.

"Loh, Nakula, anak baru?" sebagian anak kelas yang mengetahui kejadian malam itu tidak menyangka Nakula akan hadir ke sekolah secepat ini.

"Si anying ke sekolah jam segini, dari mana lo? Ngegame? Lo kira ini sekolah bapak lo yang bikin?" Aster menggebuki Nakula memakai buku di tangannya.

"Kagak weh, gue di belakang tadi. Bapak gue bapak lo juga kali!"

"Gue aduin ke mama ntar!" ancam Aster.

"Tafadahali, emang gue takut?"

"Oke, gue bilangin, tunggu aja sampai rumah lo nggak dikasih makan."

"Whatever." Nakula memilih mengabaikan omelan adiknya, adik dan mamanya memang sebelas dua belas bedanya, Nakula hendak duduk di kursi Ara yang bertuliskan "baby dino" menggunakan tipe-x. Lagi-lagi Ara harus mengalah dan merasa tersingkirkan.

"Sabar ya, Ra." Astwr mengusap punggung teman sebangkunya.

"Ra, gue bosen duduk di sini, gue mau pindah duduk ke depan aja."

"Alhamdulillah, my lovely baby dino balik ke gue." Ara memeluk kursi kesayangan yang katanya tiada dua di dunia, memang sedikit lebay teman Michel yang satu ini. Padahal ayah Ara bisa saja membeli satu set sofa cash di tempat.

"Anjir! ampe kursi dinamain segala kek anak." Nakula menggeleng-geleng melihat kelakuan Ara.

"Suka-suka Ara dong." bagi Ara yang penting dirinya bahagia, itu sudah lebih dari cukup. Nakula pindah menuju kursi paling depan—entah kapan sepasang kursi dan meja itu itu ada di depan Felic dan Michel—membalikkan badan dan tersenyum selebar mungkin.

"Apa lagi?!" Michel kembali berubah menjadi singa tiap kali menginjakkan kakinya di kelas.

"Buset, ini cewe kalo di RS aja nggak galak. Di sekolah beh, berubah jadi singa!" seru Nakula.

"Dari pada lo nyebelin, kerjaannya nyuri mulu." sahut Ara dari barisan belakang.

"Sst, itu rahasia kita." Nakula menaruh jari telunjuk di depan mulutnya, membuat Ara memutar bola matanya, masih kesal dengan apa yang ia lakukan terhadap baby dinonya.

"Chel."

"Hm?"

"Ke rooftop."

"Kapan?"

"Nanti pas istirahat." Michel mengangguk kecil, mengiyakan ajakan Nakula.

"Berdua aja nih? Kita nggak diajak?" sahut Aster berteriak.

"Ciee.." seisi kelas menyoraki Nakula dan Michel. Michel terbiasa dengan hal seperti ini, sejak hubungan Michel dan Raka renggang, setiap kali Michel dekat dengan laki laki lain pasti akan disoraki.

"Nggak lama lagi ada couple goals baru nih!" siswa di sudut kelas menyahut keras.

"Duh aduh, teh Michel mah always di deketin cowo ganteng yak?" Ayu menimpali.

"Padahal aku udah ngantri jadi calon pacar Nakula." Jena memasang muka sedihnya.

"Heleuh, heleuh, emang ada yang mau sama kamu? Memangnya kamu segeulis Michel?" pertanyaan sekaligus ejekan dari Egi memancing tawa kelas XI-3 IPA, kasihan Jena, semua cewek cantik kok, Jen. Jangan dibawa hati ya!


Nakula dan Michel duduk di salah satu sudut rooftop, Michel memetik gitar milik Devan—lebih tepatnya milik Acha, mantan Devan. Michel bernyanyi, sesekali Nakula mengikutinya.

"Yeah, it's only me." Nakula memberi tepuk tangan beberapa kali, tanda ia bangga memiliki teman seperti gadis di sampingnya. Pada dasarnya Michel memang suka bernyanyi tanpa diketahui siapa pun. Untuk pertama kalinya ada yang mendengar suaranya.

"Lo mau ngomong apa?" Michel menatap Nakula datar, sikap Michel di sekolah berbanding terbalik ketika Nakula dirawat kemarin.

"Lo inget, kan? Kita bakal cari cewe yang sering datang ke RSJ pas gue gila?" tanya Nakula balik, ia menekankan pada kata 'gila'.(*RSJ/rsj : rumah sakit jiwa).

"Tolong ganti kata gila ama depresi aja, telinga gue nggak bisa terima." Michel mulai mencair, sebenarnya ia tak tega bersikap datar pada Nakula, lebih tepatnya pada orang gila di sampingnya.

"That's same."

"Not same!"

"Iya dah."

"Good boy."

"Gue mau cerita, biar lo tau cirinya dia gimana."

"Gue uda tau." ujar Michel berlagak sok tau.

"Ck, gue serius." Nakula berdecak melihat lagak Michel yang sok tau.

"Hm, gue denger."

"Gue bukan tipe yang penurut pas umur empat belas, gue sering balap liar, tawuran, dan gue hampir merokok, dugem, semua hal yang kelewat batas hampir gue lakuin."

"Itu hampir."

"Iya sih, malem itu gue lagi balapan, jalan yang uda kita rencanain itu emang sepi, jarang ada yang lewat situ. Lawan gue anak geng motor lain, belum jauh dari garis start tiba-tiba ada mobil dari tikungan, nabrak gue, yang anehnya lawan gue belum jalan sama sekali, dan ternyata yang bawa mobil temen satu gengnya."

"Terus?"

"Gue koma, selepas itu gue depresi, gue nggak inget penyebab gue depresi apa. Selama di rsj gue jarang ada yang kunjung, mama papa di bandung, di jakarta gue cuma punya nenek. Tapi ada satu cewe, mukanya ga mirip orang indo, tapi bahasa indonya lancar, rambutnya pendek sebahu, kalo ke ruangan gue pasti dikuncir kuda, dia selalu bawa hotweels sama minum gitu, gue gatau isinya apaan, yang jelas kalo gue minum bawaannya tenang."

"Green tea?"

"I don't know, terus dia punya freckles di pipi, matanya agak sipit, tapi bukan china yang pastinya."

"Ciri-cirinya mirip Vey deh, tapi rambut Vey kan panjang. Lo kenal Vey, kan?" tanya Michel.

"Kaga." Nakula menggeleng dengan polosnya.

"Hadeh ni anak! Vey tuh yang paling diem diantara temen-temen adek lo."

"Dia asal mana?"

"Mau tau atau mau tau banget?" sifat Michel yang suka jahil tertular dari Nakula keluar.

"Mau tau banget, elah!"

"Oke, oke. Satu, dia anak blasteran indo-filipina, dua smpnya di SMP 4 Bakti Jakarta. Tiga, katanya dia punya temen, namanya Dewa."

"Gue?"

"Ge-er lo! Kata Vey, dia uda lama nggak ketemu orang itu."

"Ya kali emang gue, kan?"

"Nggak mungkin lah!"

"Mungkin!"

"Udah ah, males debat sama bocil." Michel mengalah.

"Gue laper, ke kantin yuk!" ajak Nakula.

"Mata pelajaran abis ini apa?"

"Kimia, mungkin."

"Oh iya, jam bu Naila kan?"

"Iya." Nakula mengangguk.

"Bo.." ajakan Nakula terpotong.

"Bolos? Ogah!"

"Ya, udah!"

"Ayo bolos! Gue nggak suka jam bu Naila." Michel menarik tangan Nakula ke parkiran. Selagi gerbang sekolah terbuka, Nakula menancapkan gasnya.

Thank for all readers💗


Michella [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang