Wanna be mine?

9 11 0
                                    

"Michel"

"Iya?" Muchel menghampiri sebuah meja bernomor 15, dimana Raka sudah mendapat posisi ternyamannya. Michel mengambil posisi duduk di depan Raka, Raka membooking meja ini semalam, meja tepat di samping jendela besar kuno yang menjadi tempat favorit Michel di restoran ini, dulu. Raka memanggil salah satu pramusaji, Michel mengerucutkan bibirnya layak anak kecil lalu memanggil Raka.

"Kak.."

"Iya?"

"Gue nggak pengen makan di sini."

"Terus pengen makan di mana? Emang lo mau makan apa?"

"Gue pengen makan nasi padang."

"Di sini ada, kok."

"Nggak mau disini, maunya yang di warung mang Ujang."

"Ooh, bentar gue cancel bookingnya dulu."  Michel tersenyum kecil, Raka bisa mengerti dirinya. Raka sangat sabar menghadapinya, walau Michel sering mengacuhkan Raka, dan tak jarang memarahi Raka. Michel menatap punggung Raka di meja kasir, Michel kembali tersenyum.

"Yuk, udah selesai cancelnya."

"Makasih"

"Buat?"

"Eh, nggak, lupain aja."

"Okey" Raka mengiyakan.

"Sekarang mau ke mana?" tanya Raka memastikan kembali.

"Makan nasi padang,"

"Iya chel, dimana?

"Di rumah makan mang Ujang." Raka menghela nafas kasar, ia kembali mengusap-usap pucuk kepala Michel, Michel persis sama seperti Raka, keduanya sangat pintar di semua pelajaran, namun tak pintar dalam menghadapi satu sama lain. Raka membuka pintu mobilnya, mempersilahkan gadis kesayangannya masuk, Michel yang langsung mendapat posisi nyamannya, memijat pelipisnya, kemudian menyenderkan kepalanya pada jok mobil. Raka yang baru masuk ke dalam mobil memasang raut wajah bertanya.

"Gue nggak apa-apa" Michel tersenyum tipis untuk meyakinkan Raka. Raka membalas senyuman Michel, ia mengambil posisi mngemudi, dan mulai melajukan mobilnya. Dalam beberapa menit mereka sampai di sebuah rumah makan khas  minang dengan arahan dari Michel, Michel menepuk kedua belah tangannya beberapa kali dengan senyum merekah di bibirnya, menambah kecantikan parasnya. Untuk pertama kalinya Raka melihat Michel tersenyum kegirangan hanya dikarenakan sebuah rumah makan. Michel berjalan lebih dahulu masuk ke dalam, ia langsung memesan nasi dan menu lauk pauk yang menurutnya paling enak, sedang Raka yang tak pernah masuk ke dalam rumah makan minang tampak kebingungan, Michel yang menyadari hal itu langsung oleh menarik tangan Raka untuk mengambil piring, menaruh nasi, dan memesan lauk pauk, tentu saja bukan yang Raka suka. Toh, Michel tak pernah tau apa yang disuka dan tidak disuka Raka. Michel memanggil salah satu pelayan untuk membawa nampan berisi makanannya dan Raka ke sebuah meja bernomor 6 yang berada di teras rumah makan lalu menghampiri seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk di meja kasir.

"Mang Ujang" teriak Michel di depan laki-laki paruh baya itu, sang empu yang kaget nampak kebingungan dan rautnya menampakan ia mulai mengingat sesuatu.

"Eh si eneng geulis, kumaha damang?" walau pemilik rumah makan nasi padang, mang Ujang lebih banyak memakai bahasa Sunda, ketimbang bahasa ibunya.

"Alhamdulillah, sehat. Mang Ujang kumaha?"

"Alus. saha éta? kabogoh na?"

"Bukan, itu temen."

"Temen atau temen.."

"Mang Ujang mah nggak pernah berubah."

"Sifatnya susah atuh diubah. Geulis pisan, habis dari mana? Dari kondangan?"

"Nggak, cuma jalan-jalan aja"

"Oh..., udah pesen?"

"Udah mang, Michel makan dulu ya!"

"Iya, sok atuh makan, keburu dingin ntar."

"Siap!" tangannya memberi hormat, mang Ujang terkekeh melihat Michel yang sudah tumbuh dewasa—menjadi seorang gadis yang baik dan cantik persis seperti mamanya—bersikap layaknya anak umur lima tahun. Raka masih dirasakan kebingungan hanya bisa mengikuti langkah Michel, Michel mengajak Raka untuk makan. Ini pertama kalinya Raka makan nasi padang, ia mengambil sendok dan garpu, membaca do'a, dan mulai memakan nasinya perlahan, suap demi suap.

"Jujur, gue baru pertama kali makan nasi padang," pernyataan Raka mengundang gelak tawa Michel, sekali ini baru ia mendengar pernyataan seperti itu.

"Serius?" Raka mengangkat tangan kanannya, menunjukkan jari tengah dan jari telunjuknya membentuk lambang peace. Hal itu semakin mengundang gelak tawa Michel. Beberapa saat Michel terdiam, dan setelahnya ia tertawa lagi.

"Chel"

"Hm?"

"Berhenti ketawa!" perintah Raka, ia memasang muka serius.

"O..ok." seketika hening melanda meja mereka, Michel dan Raka sama-sama menyibukkan diri dengan sepiring nasi padang mereka. Michel merasa bersalah pada Raka akan gelak tawa itu, ia berniat meminta maaf pada Raka, namun ia takut Raka akan kembali marah padanya. Dengan sedikit keberanian ia mulai bertanya pada Raka.

"K...kak Raka"

"Iya?"

"Kak Raka marah 'kah?"

"Nggak," Raka tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Michel.

"Terus..."

"Ya.. Nggak suka aja, kalo lo ketawa di depan umum, ntar nambah lagi saingan gue. Lagian lo nambah cantik pas ketawa." Michel memasang wajah datarnya, Raka tersenyum lebar membalas wajah datang gadis cantik itu.

"Kak Raka pernah pacaran?"

"Pernah,"

"Pasti mantan kak Raka cantik, kan?"

"Semua cewek itu cantik, chel."

"Hm.., kak Raka suka sama siapa?"

"Huk!" Raka tersedak mendengar pertanyaan Michel, sebelumnya tak ada seorang pun yang berani menanyakan hal itu pada Raka. Raka segera meminum air secara perlahan.

"Hem.."

"Sama siapa hayo?.."

"Kok lo kepo, kek dora tau nggak?"

"Terserah, kak Raka suka sama siapa?"

"Bener lo mau tau?"

"Iya"

"Em..sama lo."

"Hah?"

"Iya, gue suka sama lo, and..."

"And?"

"Wanna be mine?"

"Seriously?"

"Hem, yeah."

"I'm sorry, i can't"

"Why?"

"I can't"

"Okay, nggak masalah kalo lo gamau bilang alasannya, gue nggak maksa." Michel tersenyum kecut melihat wajah kecewa Raka. Kedua kalinya ia bersalah.
                       ____________________

Thank for all readers❤
Jangan lupa buat ninggalin vote dan komen. Karena itu berharga banget buat author✌🏻✨
Jangan lupa buat follow akun author
//cie promosi. Dan kirim pesan buat follback nya.

Michella [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang