DUA

804 138 14
                                    

"Kak Lita, blazer-nya!"

Lita menangkap blazer yang dilempar Erin dari dalam mobil. Hari itu ia sudah terlambat, dikarenakan mobil papanya mogok dijalan. Terlambat bagi mereka yang bersekolah di Garuda Bangsa adalah bencana. Ibarat kata, secara otomatis siapa pun yang terlambat atau melanggar aturan yang sudah ditentukan Garuda Bangsa siap-siap saja 'catatan dosa'-nya tidak lagi bersih. Lima poin untuk terlambat dan ditambah hukuman dari guru yang kebagian mengajar di jam pertama. Dan Lita mendapatkannya pagi itu.

Kakinya pegal karena sudah berdiri satu jam lebih di koridor kelas dihentak-hentakkan pelan. Lita celingak-celinguk kanan-kiri dari ujung koridor yang satu ke ujung koridor satunya. Sepi. Iya lah sepi, jam pelajaran pertama sedang berlangsung. Hanya Lita yang mendapatkan kehormatan berdiri di luar kelas sampai pelajaran Bahasa Inggris selesai.

Entah kenapa Lita merasa gerah, padahal seluruh gedung Garuda Bangsa dilengkapi oleh AC. Lita mengipasi lehernya yang kegerahan dengan tangan dan mulai mengambil kunciran yang ada di saku blazer-nya. Lita menguncir rambutnya yang tidak terlalu panjang, kemudian menyandarkan badannya yang pegal ke dinding, lalu memejamkan mata sejenak.

Baru beberapa detik Lita memejamkan mata, terdengar derap langkah kaki. Tidak hanya seorang, tapi lebih dari satu orang. Lita membuka matanya dan mencari sumber suara dari derap langkah kaki tersebut. Ketika Lita melihat apa yang sedang berjalan ke arahnya, detak jantungnya seakan berhenti dan matanya terbelalak kaget.

Tanpa komando, otak Lita memutar alunan lagu yang sudah sangat dia hapal, lagu dari soundtrack drama Korea favoritnya. Didalam pikirannya lagu Paradise dari T-Max menjadi musik latar pemandangan ini...

Lima murid laki-laki berwajah tampan dengan tinggi yang proporsional, seimbang dengan bentuk badan masing-masing. Lita mencoba merekam kaum adam yang sedang berjalan dengan gayanya masing-masing, dengan mata dan pikirannya secara cepat.

Satu orang yang lebih tinggi diantara yang lain, wajah tampannya didominasi mimik galak, rambutnya berantakan dan kaus seragamnya yang keluar di bagian depan. Disebelahnya, pemuda berkacamata berbingkai hitam, dasi yang dikenakannya terlihat sengaja dilonggarkan.

Lalu, ada seorang lagi dengan wajah yang sangat manis sedang sibuk dengan ponselnya. Kemudian, dibelakang mereka bertiga, seorang berwajah serius, menenteng jas yang semestinya dikenakan selama berada di lingkungan sekolah.

Dan terakhir, Lita bisa melihat seseorang bersiul pelan sambil memutar-mutar dasi yang tidak dipakainya, bahkan kaus seragamnya seluruhnya dikeluarkan, serta jasnya disampirkan di bahu kiri.

Lita kembali menahan napas ketika kelima orang itu melintas di sampingnya. Lita hampir pingsan saat salah satu diantara mereka yang tadi sibuk mengutak-atik ponselnya melirik sepintas. Kedua lutut Lita terasa gemetar saat yang lainnya ikut menoleh sekilas. Lita benar-benar ingin pingsan saat itu juga.
*

"Ler, kasih tau dong mereka itu siapa? Namanya siapa?" Lita menarik-narik ujung blazer Lerina tidak sabar.

"Harus berapa kali sih gue bilang, jangan mendekin nama gue jadi 'Ler'!" Lerina menarik paksa tangannya dari Lita dan terus berjalan menuju kafetaria alias kantin sekolah.

"Oke, Lerina Skandiani, siapa lima cowok ganteng yang tadi lewat depan kelas pas gue lagi dihukum pagi-pagi?" Lita menggandeng tangan Lerina yang langsung ditepis kasar.

"Gue pikir elo lesbian."
Lita menarik rambut Erick yang nyeplos sembarangan tadi. Erick mengaduh pelan dan merapikan kembali rambutnya.

"Lagian elo ngapain sih ngikutin gue?"

"Aku kan mau selalu ada disamping Lita Tersayang." Erick mengedipkan mata.

"Mar, ayo buruan jalan cepetan. Tuh, Lerina udah nggak keliatan kan."

Almost Paradise [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang