Langkah Lerina terhenti. Lita berusaha menyembunyikan senyum puasnya. Kata-katanya tadi memang sengaja disimpan terakhir kalau Lerina masih juga ngotot tidak mau memberitahu informasi apapun, dan ternyata kata-kata itu benar-benar ampuh.

"Yang mukanya galak namanya Kay, yang pakai kacamata namanya Advin, terus yang tadi pakai earphone namanya Fiksa, yang lagi makan itu Seran, dan yang lagi ribet sama dasinya itu Daffa."

Lita tersenyum lebar dan mengingat nama-nama yang disebut Lerina tadi.

"Terus, mereka itu siapa?"

"Mereka murid sekolah sini lah. Kelas dua belas."

"Kok waktu kita MOS mereka nggak ada?" Lita mencoba mengingat-ingat MOS dua minggu lalu.

"Buat apa mereka capek-capek ngurusin MOS? Mereka nggak ada waktu buat kegiatan begitu. Lagian, pas kita lagi MOS mereka lagi liburan ke Eropa sama-sama." Lerina menjelaskan dengan nada bangga, karena bisa tahu sebegitu detail.

Lita hendak membuka mulut lagi untuk bertanya, namun Lerina memotong cepat. "Dan, elo jangan gila sok mau deket sama mereka. Apalagi temenan. Lo pikir lo siapa?"

"Oke, makasih banyak ya, Lerina yang cantik." Lita mencium pipi Lerina singkat dan langsung ngibrit. Erick dan Mary yang dari tadi jadi penonton cuma bisa melongo.

"LITAAAAA!!!!!!!" Lerina murka mengejar Lita sambil mengelap pipinya kasar.
*

Kotak cantik berwarna putih berpita emas dipeluk erat oleh Lita. Tabungannya habis untuk membeli red velvet dari salah satu hotel bertaraf internasional di Jakarta. Itupun dia harus membobolnya diam-diam, kalau mamanya sampai tahu bisa murka hingga langit ketujuh, karena Lita rela membuang uang untuk membeli kue yang diameternya tidak lebih dari 20 sentimeter dengan harga jutaan.

"Lerina, mereka biasanya suka nongkrong dimana kalo lagi di sekolah?" Lita langsung menghadang Lerina yang baru masuk kelas.

Lerina mengerutkan kening antara bingung dan sebal pagi-pagi sudah diganggu sama suara berisik Lita.

"Maksudnya gue itu, Kay, Advin, Seran, Fiksa, dan Daffa biasa nongkrong dimana kalo lagi di sekolah?" Lita mengulangi pertanyaannya.

Lerina menggeser badan Lita yang menghalangi jalannya, lalu duduk dibangku. Dilihatnya Lita masih menunggu jawabannya sambil memeluk kotak berwarna putih.

"Jangan bilang kalo..." Lerina sengaja menggantung kalimatnya, menunjuk kotak putih yang dibawa Lita.

"Iya! Gue mau kasih ini sama mereka." Lita nyengir lebar.

"Erick!!!" seru Lerina ke penjuru kelas.
Yang dipanggil menghampiri terburu-buru.

"Apa? Apa?"

"Bini lo gila. Tolong bawa dia ke rumah sakit jiwa. Sekarang." Lerina menuding Lita dengan telunjuknya.

Erick berkacak pinggang layaknya seorang suami yang mau memarahi istrinya. "Kamu nakal ya, Sayang? Nggak boleh gitu ah."

Lita memutar bola matanya sebal. Erick makin lama makin nyebelin, sampai-sampai Lerina memanfaatkan kegilaan Erick untuk balas dendam tiap kali Lita mulai menghampirinya.

"Gue serius." Lita berusaha tidak terpengaruh bercandaan Lerina dan Erick.

"Gue juga serius. Elo jangan gila cari perhatian sama mereka. Nanti sakit hati. Bunuh diri deh," ujar Lerina datar.

"Ya udah deh, gue usaha sendiri." Lita melangkah keluar kelas.

"Emang mau apa sih dia?" Erick jadi bingung sendiri.

Almost Paradise [COMPLETED]Where stories live. Discover now