16- Impossible

278 66 55
                                    

Hari pertama gue menjadi babu telah rampung ketika gue beneran di tinggal Rayen sendirian malam-malam di pelataran parkir mal. Gue rasa dia tidak punya rasa kemanusiaan dan tanggung jawab tinggi terhadap seseorang.

Dan gue yakin sampai saat ini dia masih jomlo, karena tidak ada perempuan manapun yang berani ataupun sekedar duduk sebentar dengannya sambil minum kopi. Itu hanya karena satu penyebab yang pasti, sifatnya yang sangat buruk.

Dan suatu kesalahan terbesar gue adalah gue pernah ketemu dengan makhluk seperti dia. Gue bisa pastikan gue mungkin bisa gila menghadapinya dalam kurun waktu yang cukup lama ini.

Satu bulan.

Saat inipun baru hari keduanya. Masih ada 28 hari tersisa terhitung dari sekarang. Satu hari pertama yang telah gue lewati terasa seperti penjara yang mengikat diri.

Gue ingin untuk hari ini dan hari-hari selanjutnya cepat berlalu dan gue bisa bebas dari semua ini.

Gue menghembuskan napas secara kasar, melirik jam beker yang tergeletak di atas nakas.

03.15

Masih terlalu dini untuk bangun dan mandi pagi. Memang gue hanya tidur beberapa jam. Mimpi gue selalu buruk setelah bertemu dengannya.

Kemarin atau yang bisa gue sebut beberapa jam yang lalu, sekitar pukul 10.30 gue baru sampai di rumah dengan diantar oleh go-jek.

Dan gue baru bisa memejamkan mata gue sekitar pukul 01.30 setelah mengumpat-umpat ria dan mengeluarkan sumpah serapah untuk Rayen.

Tak lupa pula dengan keadaan kamar gue yang sudah seperti kapal pecah ini. Isi bantal yang keluar dan berserakan di lantai kamar, selimut dan sprai yang berantakan, dan rambut gue yang acak-acakan cukup menggambarkan bagaimana keadaan gue.

Gue meraih hp yang gue letakan di atas nakas di samping jam beker. Mengecek apakah ada notifikasi penting. Dan ternyata sebagian besar adalah notifikasi tak berfaedah dari grup kelas.

Gue memutuskan menaruh kembali hp gue di tempat semula, berniat kembali tidur karena gue yakin mata gue udah kayak mata panda dengan kantung hitam yang jelas.

Gue menarik selimut, mencoba memejamkan mata, tapi yang muncul malah seorang yang membuat gue ingin melemparnya dari puncak monas. Iya, Rayen, dia selalu menghantui pikiran gue dengan datang di waktu kapanpun dan dimanapun.

"MUSNAH AJA LO!" Gue menendang selimut dan melempar bantal ke udara kosong.  "Mending gue sholat tahajud aja apa ya? Biar pikiran dan hati gue tenang."

***


Pagi ini terasa beda dengan pagi biasanya karena gue udah siap berangkat ke sekolah jam enam kurang sepuluh menit.

Mama dan papa gue bahkan sampai terheran-heran anaknya sudah siap sepagi ini yang teknisnya aja gue baru  bangun biasanya.

"Pagi ma, pa!" Sapa gue begitu gue turun dari lantai atas dengan menggunakan seragam sekolah lengkap.

Mama yang hendak berjalan ke dapur untuk mematikan kompor pun terhenti seketika. Papa yang sedang duduk di meja makan dengan membaca koran juga langsung menengok.

Gue paham mereka sampai seperti itu. Gue berjalan ke arah meja makan dan duduk di sana.

"Kamu ketempelan setan mana si Joy?" Tanya papa begitu gue duduk di hadapannya.

"Ih papa! Anaknya bangun pagi begini malah digituin!" Kata gue kesal. Gue mengembungkan pipi dan memalingkan muka.

"Iya habis kamu tumbenan amat udah rapi kayak gini." Papa tertawa geli melihat tingkah laku gue yang seperti anak kecil.

"Kan Joy anak rajin pa." Kata gue lagi sambil mengambil roti di atas piring. Mengolesinya dengan selai coklat kesukaan gue.

Bel rumah gue berbunyi saat gue baru mau memasukan sepotong roti ke mulut gue. Benar-benar merusak suasana.

Bi Inah segera berlari ke arah depan membukakan pintu. Gue heran juga siapa pula yang bertamu di pagi-pagi seperti ini.

Bibi kembali masuk ke dalam rumah dan menghampiri gue, "Itu non udah di jemput sapa temennya." Gue mengerutkan dahi, bingung. Perasaan hari ini gue nggak minta jemput sama temen gue deh. Terus di depan yang ngaku-ngaku teman gue itu siapa?

"Laki-laki apa perempuan bi?" Tanya gue penasaran.

"Laki-laki, non."

Gue kembali mengerutkan dahi, laki-laki? Nggak mungkin bangetkan itu Ibra, soalnya dia paling males kalau urusan jemput-menjemput atau antar-mengantar. Lagi pula mana bisa seorang Ibrahim Putra Manggala sudah bangun jam enam pagi seperti ini. Lah terus itu siapa?

"Namanya siapa bi?"

"Siapa tadi ya, bibi agak lupa, Ra-ra-ra siapalah itu." Jawabnya sambil mengingat-ingat.

Ra siapa? Gue mengingat-ingat satu- persatu nama teman laki-laki gue, perasaan nggak ada yang depannya huruf R deh.

Lah terus itu siapa? Bentar-bentar nggak ada satupun kecuali Ra-yen.

Iya  Rayen!

Tapi nggak mungkin Rayen kan soalnya dia bukan teman gue!

Tapi gue penasaran juga, beneran Rayen atau bukan? "Bi, namanya Rayen bukan?"

"Nah itu dia, Rayen! Bibi ingat."

Seketika itu gue bahkan sampai lupa kalau gue mau makan roti. Dan roti itupun terlepas dari genggaman gue.


***

a/n :

Love you para readers setia yang mau membaca cerita ini. Thanks you.
Satu hal yang pasti, tolong hargai karya penulis!

See you next part! And happy for you!

ATTENDANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang