24- Ketemu

33 5 17
                                    

Kepergian Rayen secara tiba-tiba membuat gue tersentak kaget melihatnya. Tanda tanya besar muncul di kepala gue saat ini.

Kenapa Rayen begitu terkejut melihat gue ada di sini? Kenapa dia langsung lari? Dan, kenapa dia tidak masuk sekolah? Kalau dia beneran sakit kan seharusnya dia ada di rumah saat ini. Kenapa malah jalan-jalan ke luar?

"RAYEN!!!" Gue memutuskan untuk lari mengejar Rayen. Gue merasa sedikit takut kalau terjadi apa-apa dengan dirinya.

Huh, sekarang gue kehilangan jejak Rayen. Di mana dia bersembunyi sekarang? Gue yakin dia nggak akan lari jauh dari sini.

Gue berjalan dengan hati-hati memperhatikan kanan dan kiri sampai akhirnya gue menemukan ada seorang anak laki-laki yang sedang berjongkok di belakang tumpukan kardus. Dengan hati-hati gue mendekatinya.

"Ray?" Panggil gue lirih setelah gue ikut berjongkok di belakangnya.

Rayen pelan pelan menoleh ke belakang dan tersentak kaget dan hampir jatuh ketika dia melihat gue ada di sana.

"Loh lo kenapa? Kok mata lo merah? Lo habis nangis?" Tanya gue kaget setelah melihat wajahnya.

Rayen menelan saliva kasar, "Nggak. Gue nggak nangis, tadi cuma kelilipan aja."

Setelahnya Rayen memalingkan muka ke arah lain. Gue tau dia cuma berkilah, karena matanya sembam kayak orang nangis. Tapi, gue memutuskan untuk nggak cari tau kenapa Rayen berbohong, mungkin dia belum mau buat cerita ke gue.

"Ngapain tadi lo kabur?" Tanya gue.

Rayen agak kebingungan, dia menggaruk-garuk kepalanya, " Ah, itu karena gue kaget, gue kira tadi orgil."

Gue melotot tajam ke arahnya sambil menggeplak kepalanya. "ANJIRR LO!"

"Soalnya rambut Lo awut-awutan. Kan jadi sebelas dua belas tambah mirip."

"Hah, masa?!" Kata gue nggak percaya. Masa rambut gue awut-awutan si, tadi aja sebelum pergi udah gue sisir dulu perasaan.

Gue memutuskan untuk numpang ngaca di jendela dekat situ, "Lo bohong, rambut gue cantik gini kok."

"Nggak. Lo salah ngaca."

Rayen berjalan mendekat, kemudian tangannya menyentuh rambut gue dan mulai mengacak-ngacaknya. "Sekarang coba lo ngaca lagi, pasti mirip kan?"

"RAYENNN!!!!" Teriak gue marah. Sementara Rayen hanya tertawa ngakak sambil memegangi perutnya.

Gue menghembuskan nafas kesal. Rada jengkel si sebenarnya tapi itu lebih baik daripada harus melihat Rayen yang menutupi tangisan seperti tadi. Karena dia tuh nggak pandai dalam berbohong.

"By the way, Lo beneran nggak papa?"

"Nggak."

"Nggak usah bohong deh!"

"Nggak."

"Ray, Lo tuh nggak pandai bohong sama gue tahu nggak si?"

Namun, Rayen tetap menggelengkan kepalanya kuat kuat. "Enggak Joy beneran."

"Gue yakin Lo lagi punya masalah kan?"

"Nggak Joy, nggak!"

"Terus kenapa nangis tadi?"

"Nggak astagfirullahalazim!"

"Iya!"

"Nggak!"

Perdebatan antara gue sama Rayen terus beradu cukup sengit sampai tiba-tiba...

"WOIII KALIAN LAGI NGAPAIN DI SITU MALAM-MALAM?"

Gue dan Rayen yang kaget mendengar teriakan tersebut langsung menoleh ke arah sumber suara. Mata gue melotot setelah mengetahui siapa orang yang berteriak tersebut yang tak lain ialah seorang hansip yang sedang berpatroli. Gue hanya bisa menelan saliva dan saling berpandangan dengan Rayen.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 09, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ATTENDANTWhere stories live. Discover now