6- Terpaksa

788 422 352
                                    

Gue menghentak-hentakan kaki ke kasur. Itu orang siapa si? Nyebelin banget. Malem-malem gini chat cuma buat nanyain itu doang? Geblek.

Dapet uang darimana coba? Dua puluh juta dalam semalam? Gila. Gue bukan anak holkay. Pinjam tongkat sihirnya Harry Potter aja kali ya, siapa tau bisa merubah daun jadi duit. Ngayal. Mana ada Harry Potter di dunia nyata?

Apa gue panggil Bandung Bondowoso aja ya? Suruh jin-jinnya ngubah seluruh daun jadi duit? Kan gue bisa jadi milyader. Hehehe. Tapi cerita tentang Bandung Bondowoso itu nyata apa sekedar mitos belaka? Kalau cuma mitos ya percuma. Kalau nyata juga percuma juga si, emang Bandung Bondowoso masih hidup?

"Arg...." gue menyacak-acak rambut gue.

Merusak mood nonton gue. Karenanya gue mematikan laptope dan meletakannya di meja. Setelah itu gue menarik selimut dan mencoba tidur.

Tapi, tidak bisa. Setiap kali gue memegamkan mata selalu ada Rayen yang sedang malak minta 20 juta.

"Agh...."

Gue membuang selimut dan berjalan ke arah dapur. Mengambil sekotak pizza yang tadi.

Di ruang keluarga gue melihat Bi Inah sedang nonton drakor di layar televisi. Ini bibi-bibi sebenernya bucin juga ya, diem-diem tontonannya drakor.

Gue mendekati Bi Inah, duduk di sampingnya, "Belum tidur bi? Udah malem."

Bi Inah yang sedang fokus nonton pun akhirnya menoleh, melihat gue yang sudah duduk santai di sampingnya, "Bentar lagi non, ini lagi seru."

Gue mengangguk, ikut menonton serial drama korea yang sedang di putar di salah satu stasiun televisi swasta.

"Bi, ini pizza biar tambah mantap nontonnya." Gue menyodorkan sekotak pizza yang sendari tadi gue pegang ke Bi Inah.

"Eh, iya non nggak usah repot-repot."

"Nggak papa Bi, daripada mubazir. Lebih enak di makan bareng-bareng kaya gini."

Dan setelah itu, gue dan Bi Inah menonton drakor sambil makan pizza sampai larut. Gue bahkan tertidur di sofa.

Dan pikiran tentang 20 juta lenyap seketika.

***

Gue menaiki tangga menuju rooftop. Hanya berbekal keberanian gue menyeret kaki ini untuk melanggah maju. Entah kenapa tapi ada sedikit rasa takut di dalam hati. Gue nggak bawa uang seperti yang telah gue janjian kemarin, gue hanya bawa niat.

Gue membuka pintu rooftop. Tidak seperti yang gue duga si jigong anoa ini sudah ningkring di kursi kayu yang agak rusak.

Ini bocah cepet amat ke sini? Baru juga bel, udah ke sini aja. Ngilang apa gimana? Perasaan kemarin juga datengnya telat banget.

Gue berjalan mendekati Rayen yang belum menyadari keberadaan gue di sana, "Ehm." Gue berdeham di samping Rayen, membuatnya menoleh.

"Lo udah nyampe?"

Gue berjalan ke depan, menarik sebuah kursi yang masih benar dan duduk di sana. membuat gue dan Rayen jadi berhadapan, "Lah oon, kalau gue ada di sini ya tandanya gue udah sampai lah. Tumbenan amat lo udah ada di sini? kayaknya kemarin lo telat sampai lima belas menitan loh."

"Gue bolos dari jam ke dua. Bosen di kelas." Katanya santai.

Nggak takut di marahin Pak Hadyan apa? Kepala sekolah sini kan galak banget kayak singa belum makan enam bulan kalau tau ada anak yang bolos pelajaran.

Punya nyawa berapa si tuh anak? Hobinya ngelanggar aturan mulu.

"Pelajaran apa si?" Kata gue penasaran. Ya penasaran aja tuh pelajaran apa sampai itu orang bolos dan malah duduk manis di sini dengan santainya.

"Matematika."

Gue melotot tidak percaya, mata gue mungkin udah mau keluar. Lidah gue langsung tercekat begitu mendengar kata itu. Gue geleng-geleng kepala tidak pecaya.

Ini orang stress atau gila si? sampai pelajaran matematikanya Mrs. Jenni berani kabur gitu?

"Lo punya nyawa satu lagi apa? Lo nggak takut Mrs. Jenni ngamuk sama lo?!"

"Lah itu guru juga makan nasi sama kayak gue. Kalau itu guru makan besi berkarat gue baru takut." Gue ingin menjitak Rayen saat ini juga. Itu anak nggak bisa serius atau gimana si?

Mrs. Jenni itu guru paling killer yang di miliki sekolah ini. Setiap pelajarannya tidak ada yang boleh tengok kanan tengok kiri. Lirik aja udah kena sabet sama dia. Lah ini anak kok sampai berani kabur gitu? sama aja cari mati.

"Au ah lo. Percuma aja ngomong sama lo! Cuma bikin orang dosa aja gara-gara pengin ngupat terus."

"Udah nggak usah di pikirin."

"Ck." Gue mendecak kecil. "Siapa juga yang mikirin lo geer banget jadi orang." Ada juga ya orang macam dia di sini?

"Pikirin aja mana utang yang janji lo kasih hari ini."

BUM!

MAMPUS GUE!

Gue mengaruk-garuk rambut gue yang tidak gatal "A...anu...i...tu...a...." Gue gagap seketika. Nggak tau mau ngomong apa dan mulai dari mana.

"Lo udah siapin kan? Sini." Tangan Rayen mengadah. Meminta uang dua puluh juta.

"Dasar rentenir!"

"Bodo! Mana uangnya katanya sekarang."

Ini orang lebih kejam dari rentenir kayaknya. Nagih terus. Kesel gue dengernya.

Udah berapa kali gue bilang si?! Gue nggak punya uang segitu banyaknya. Ah, pengin nangis gue.

"Anu... penawaran lo waktu itu masih berlaku nggak?"

Rayen mengernyitkan dahi, "Penawaran yang mana?" Kata Rayen bingung.

Gue mendesah, "Yang itu lo. Kemarin."

"Kemarin apa?!" Tanya Rayen tidak mengerti. Dan gue bisa melihat kalau Rayen hanya berpura-pura tidak mengerti.

"Harus banget gue jelasin?!"

Rayen mengangguk, "Harus dong biar gue tau maksud lo."

Gue menarik napas, menghembuskannya secara perlahan. "Kemarin lo nawarin gue. Katanya kalau gue nggak bisa bayar uang dua puluh jutanya. Gue bisa nebusnya dengan jadi babu lo. Gitu."

Rayen mengangguk-aguk yang dibuat-buat, dan gue merasa jijik melihatnya, "Dengan kata lain lo mau jadi babu gue?!" Katanya sambil menyeringai.

Gue diam agak lama, kemudian mengumpulkan sisa-sisa suara gue, "Terpaksa."

Rayen bertepuk tangan, membuat gue agak tersentak kecil karena kaget, "Bagus. Pilihan lo emang bener. Lo itu emang cocok jadi babu gue." Rayen tersenyum puas penuh kemenangan.






Sedangkan gue?!









Pengin jorokin Rayen dari sini.









***

Gue butuh suport dari kalian para readers.

Vomentnya jangan pernah lupa ya. Thanks buat yang udah.

ATTENDANTWhere stories live. Discover now