9- Surat Perjanjian

648 271 265
                                    

Sebenernya gue sudah curiga kalau Rayen itu nggak waras. Mulai dari  bolos pelajaraannya Mrs. Jenni yang killer, chat tengah malem cuma buat ngomong kaya gitu, dan sekarang beli materai minta dianterin abang Go-jek.

Sekarang ini, gue malah ditinggal sendirian di halaman belakang rumah Rayen yang luas banget. Dari yang gue lihat, sepertinya halaman belakang rumah Rayen bisa dibuat main sepak bola.

Rayennya? Nggak tau kemana dari tadi nggak balik-balik. Padahal sudah lima belas menit berlalu. Pamitnya si iya sebentar. Tapi, baliknya? Nungguin ayam beranak.

Beberapa menit kemudian, setelah gue bosen sendiri mau ngapain. Akhirnya batang hidung Rayen kelihatan. Gue udah menyiapkan sumpah serapah gue buat dia. Tapi nggak jadi.

Iya nggak jadi, kenapa? Karena gue bingung, kenapa bocah itu malah bawa kertas sama pulpen? Mau minta  diajarin gue? Gue mana bisa, pas diterangkan guru gue tidur, pas ulangan gue nyontek Erin.

Gue mengernyitkan dahi, "Lo ngapain bawa kertas sama pulpen? Mau minta diajarin gue matematika? Maaf nih ya, gue nyerah kalau pasal ini. Gue nggak bisa."

Rayen berjalan mendekati gue, "Bukan. Lo nggak perlu ngajarin gue matematika. Lima belas menit aja gue udah selesai ngerjain." Gayanya menyombongkan diri. Gue mah nggak percaya palingan ngarang semua.

"Palingan ngarang semua, jadi cepet selesainya."

"Serah lo aja mau percaya apa nggak. Yang pasti gue lihat soalnya udah nemu jawabannya."

Iya lah udah ada jawabannya, kan soalnya pilihan ganda. Cuma dimana jawaban yang bener yang gue nggak tahu.

"Terus lo mau ngapain? Mau bikin surat wasiat?" Tanya gue. Ya mungkin aja kan siapa tau.

"Bukan." Jawabnya santai sambil berjalan ke tempat duduk kayu yang ada di sebelah kanan tanaman anggrek.

Gue mengikuti Rayen, duduk di hadapannya. "Lah terus kenapa lo beli materai?"

"Gue mau buat sesuatu."

"Apa?"

Lama-lama kok gue jadi penasaran ya? Padahal mah, Rayen mau ngapa-ngapain urusan dia. Ngapain gue penasaran?

"Nanti juga lo tau."

"Ya apa? Lo mau nulis apa si?" Gue memajukan badan, melihat apa yang tengah ditulis oleh Rayen.

"Bawel amat si? Bisa diem nggak? Mundur sana lo!" Rayen mendorong badan gue ke belakang. Gue hampir aja jatuh ke rerumputan. Untung aja gue pegangan, kalau nggak ya udah jatuh, dan pantat gue sakit lagi. Padahal ini aja baru sembuh setelah dua kali, pagi dan sore gue tabrakan mulu sama Rayen waktu itu.

"Lo jawab dulu, baru gue bisa diem." Kata gue menantang. Salah sendiri dari tadi nggak mau jawab. Ya udah gue rusuhin aja.






"Mau bikin surat perjanjian, puas?!"



***



Gue memijat pelipis, merasa pusing dengan apa yang gue alami akhir-akhir ini. Gue merasa ini semua kayak nggak nyata aja. Dan gue ingin  segera bangun dari tidur gue.

Dihadapan gue sekarang ada seorang anak laki-laki seumuran gue yang nggak waras sedang menulis. Entah apa yang ia tulis. Dan gue merasa itu bukan suatu hal yang bagus.

Gue memandang Rayen lekat. Antara bingung dan heran. Seperti merasa di perhatikan, Rayen mendongakan kepalanya, "Ngapain lihat-lihat? Baru sadar kalau gue ganteng?"

CIH! Bilang apa dia? Ganteng? Iya ganteng kaya bokong kerbau!

Gue langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, "Iya gue baru sadar kalau lo ternyata jelek banget!"

ATTENDANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang