4- Penawaran

1.1K 579 658
                                    

Gue melongo mendengarkan ucapan itu. Seakan terkena timbunan batu sepuluh ton di kepala gue.

Mana ada gue duit segitu banyaknya? Satu juta aja gue jarang-jarang megang. Lah ini dua puluh juta? Ngambil dimana gue?

Kalau ada mantra yang bisa merubah daun jadi duit, udah gue berantasin semua tuh pohon di sekolah gue. Udah gue kasih sama tuh cowok geblek. Lah sayangnya nggak ada.

"Ehm...lo... ng-nggak lagi bercanda kan?" Tanya gue memastikan. Ya gila aja, uang dua puluh juta dari mana?

Rayen menunjuk wajahnya dengan telunjuk tangan kanan, "Lo kira wajah gue mengatakan kebohongan?"

Gue nyengir, kemudian menggeleng, "Ya siapa taukan? Lagian napa lo beli hape yang mahal amat kaya gitu?"

"Papa gue yang beliin gue hp sebagai hadiah ulang tahun gue kemarin."

Oke, gue jadi agak merasa bersalah, "Ya maaf, tapi beneran gue nggak punya duit segitu banyaknya, dapet dari mana gue?"

"Jual aja ginjal lo, buat ganti hp gue. Kayaknya lebih dari cukup." Katanya dengan tenang.

Gue otomatis melotot garang padanya, ingin mengumpat dan melempar Rayen dari sini. Sembarangan aja tuh mulut kalau ngomong, nggak ada fillternya.

Gue mengepalkan tangan, berniat memukul Rayen tapi dicegah, "Anjrit lo!"

"Gue punya pilihan lain kalau lo nggak mau jual ginjal lo."

Gue menepis tangan rayen, menatapnya sangar, "Apa?!"

"Jadi babu gue selama sebulan penuh, dan gue anggap utang lo lunas, gimana?"

Gue mendecih, tak sudi menjadi babu nya, apa-apaan itu? "Nggak mau!"

Rayen membalikan badan dan berjalan, "Yaudah terserah lo aja si. Lo masih boleh mikir penawaran dari gue sampai besok. Jadi besok gue tunggu lo di sini jam istirahat pertama dan gue tunggu jawaban lo."

"Ya, penawaran macam apa itu? Nggak ada bagusnya!"

Rayen membuka pintu rooftop, kemudian membalikan badan, "Bagus buat gue yang terpenting. Lo mau pilih gue laporin polisi, jual ginjal, atau jadi babu itu terserah lo. Gue nggak paksa. Kalau lo nggak mau tiga-tiganya juga nggak papa asal besok udah ada uang dua puluh juta di tangan gue."

Gue melotot, mengembungkan pipi dan menghentakan kaki ke lantai, "Sialan njing, kampret, anjrit, wtf!"

***

"Jangan kabur lo jigong anoa! Gue ulek lo sampai bonyok!"

Gue mengejar Ibra yang sudah berlari menghindari gue dari tadi, seluruh siswa yang sedang melewati koridor sekolah langsung menepi ketika gue berlari dengan berteriak mengejar Ibra.

"Ah, jangan makan gue Joy! Ampun!" Kata Ibra berteriak sambil berlari diantara kerumunan siswa yang sedang pulang sekolah.

Gue berlari mengejarnya tapi terhalang oleh sekumpulan kakak kelas yang baru keluar dari kelas, "Anjir itu orang kemana si? Ngilang dimana? Kampret!"

Gue berjalan ke arah parkiran sambil menengok kanan kiri, siapa tau Ibra bersembunyi di parkiran sekaligus melarikan diri pulang ke rumah.

Tak lupa pula gue cek tong sampah yang berada di dekat parkiran, siapa tau si Ibra masuk ke sana. Tapi nggak ada.

Benar saja, waktu gue jalan di antara deretan parkiran mobil, gue menemukan sosok Ibra yang sedang berjongkok dengan menggigiti jari-jari tangannya.

Gue mendekatinya dengan perlahan, berharap Ibra tidak mengetahui ada seseorang yang mendekat.

Gue menepuk pundak Ibra, membuat laki-laki itu menoleh dan terlonjak kaget saat melihat muka gue berdiri di hadapannya, "Udah main petak umpetnya?" Tanya gue dengan nada yang dibuat-buat.

Ibra hanya nyengir tak bersalah, "Eh, Joy."

Gue menarik baju belakang cowok itu dan menyeretnya keluar dari sana, "NGAPAIN LO KASIH NOMOR GUE KE RENTENIR GILA ITU HAH?!"

"Orang dia minta ya gue kasih. Gue kira dia ada hati sama lo, jadi gue kasih aja nomor lo, lo kan lagi gamon juga."

Gue menjitak kepala Ibra, "Anjir, kalau mau ngasih nomor gue ke orang lain tuh bilang-bilang jangan asal ngasih!"

Ibra menunduk merasa bersalah, "Iya iya gue minta maaf, gue nggak tau kalau lo ada masalah sama dia."

Gue menghembuskan napas, "Lo mau gue tendang atau pukul?"

Ibra memejamkan mata, "Apa aja lah serah lo nih, tubuh gue udah siap lo tendang atau pukul sesuka lo."

Gue menarik napas, mengepalkan tangan berniat memukul cowok itu tapi tidak tega melihat wajahnya yang melas.

Gue menurunkan tangan kembali, sadar gue tidak jadi memukulnya, Ibra membuka matanya perlahan, "Loh nggak jadi?" Tanyanya bingung.

"Nggak, kasian lihat muka lo yang susah, beliin gue pizza aja!"

Wajah Ibra langsung merekah,"Oke sip gue beliin pizza buat lo. Sekarang kalau perlu."

Gue mengangguk setuju, "Yang ukuranya jumbo 2 kotak." Seru gue, mumpung gratis ya harus maruk kaya gini dong. Memanfaatkan hehehe.

Gue dan Ibra berjalan mendekati montor ninja hitam Ibra yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana, "Anjir perut lo emang muat di isi segitu banyak?"

Gue nyengir, "Tenang bisa gue tampung kok. Hore hari ini gue makan besar!" Teriak gue kegirangan. Ibra yang disamping gue hanya bisa geleng-geleng kepala.

ATTENDANTWhere stories live. Discover now