Bagian 15

1.3K 147 11
                                    

Sudah seminggu, Vania masih mendiamkan Caramel. Dia sudah berusaha meminta maaf, walaupun Caramel tidak tahu dimana letak kesalahannya. 

Caramel selalu menunggu Vania keluar dari kelasnya, tapi Vania hanya melengang begitu saja melewati Caramel.
Caramel juga sudah chat Vania ratusan kali dan hanya di baca, Caramel bener-benar pusing dengan perubahan sifat Vania terhadapnya. Apalagi sekarang Vania selalu bersama Rizal, saat latihan paskib Vania juga hanya diam mengikuti intruksi dari pelatih, Entah cara apalagi yang harus Caramel lakukan.

.....

Hari ini dokter Wildan sudah mewanti-wanti agar Caramel chek up kerumah sakit, ya Caramel ingat bahwa hari ini dirinya akan dipasangkan brace, sang benda laknat itu. Rasanya Caramel ingin menunda waktu sebentar saja, Caramel benar-benar takut. Semuanya akan beda setelah Caramel menggunakan benda itu.

"Astaga.. dokter Wildan kenapa bawel kaya gini sih, sampe nyepam chat segala. Pengen kabur rasanya." Ucap Caramel seorang diri.

"Dokter Wildan siapa Non, Non Caramel sakit? Kok gak bilang kalo sakit, nanti Mbok di omelin Nyonya kalo sampe Non Caramel sakit" ujar Mbak Ati, dan itu membuat Caramel kaget, Caramel lupa kalo ada Mbak Ati disini.

"Bodoh kenapa gua ngomong kenceng banget sih, otak lu dimana sih Mel." Batin Caramel.

Caramel hanya menggaruk kepala, dia binggung harus menjawab apa.

"Hmmmm, oh dokter Wildan itu temen papah, dia nanyain kabar mamah tadi heheh." Jawab Caramel menyengir.

"Oh temen nyonya, syukurlah mbok kira Non Caramel sakit, makannya di chat dokter."

"Nggak kok Mbok, yaudah Mbok Caramel mau pergi keluar dulu ya." Caramel bangkit dari kursi dan berjalan keluar rumah.

"Hati-hati ya Non," teriak Mbok Ati.

Caramel hanya tersenyum dan melambaikan tangan ke Mbok Ati. Caramel segera keluar dari pekarangan rumah menuju rumah sakit, dokter Wildan sudah menuggunya, Caramel jadi merasa dirinya orang penting, padahal seharusnya dia yang membutuhkan dokter menyembuhkannya. Tapi malah sebaliknya.

........

Caramel sampai di pekarangan rumah sakit, dia menghela napasnya. Ini adalah hari dimana ada benda yang akan melekan pada tubuhnya, benda yang akan Caramel bawa kemana pun, benda yang bahkan menemani Caramel tidur. Jika sudah teringat ini Caramel merasa ingin menjadi seperti orang-orang yang normal, tanpa harus melakukan chek up tiap minggu.

Caramel berjalan menuju ruang radiologi terlebih dahulu, kalian pasti sudah tau. Apa yang akan Caramel lakukan.

"Nona Caramel, anda sudah di tunggu dokter Wildan di ruangannya." Ujar suster, belum Caramel mengambil rontgen sudah dipanggil duluan.

"Eh, iya sus saya mau mengambil rontgen saya dulu, diruang radiologi." Ucap Caramel.

"Tidak perlu, rontgen kamu sudah di ruangan dokter Wildan, sekarang lebih baik kamu segera kesana."

"Baik sus, terima kasih sudah memberitahu." Senyum Caramel melekat dan kemudian Caramel langsung menuju ruangan dokter Wildan, selama di lorong rumah sakit jantungnya berdetak, dia takut akan benda yang akan Caramel gunakan nanti.

Caramel menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruangan.

"Huft, ayo mel semangat!!!" Caramel menyemangati dirinya sendiri. Kemudian membuka pintu ruangan ortipedi.

Disana sudah ada dokter Wildan dan dua orang lainnya, Caramel tau itu adalah dokter terapinya, mereka yang akan menyiksa Caramel dengan ratusan bahkan ribuan terapi setiap minggunya. Sungguh apakah ada yang lebih menakutkan dari ini, Caramel ingin menghilang detik ini juga, saat dokter Wildan dan kedua dokter lainnya menatap Caramel. Seluruh tubuhnya seakan membeku, kakinya tidak bisa di gerakan sedikit pun, bahkan napasnya terasa sulit di keluarkan.

"Ayo kesini Caramel, saya akan mengenalkan kamu dengan dokter terapi kamu." Suara dokter Wildan menyadarkannya, Caramel tersenyum canggung, kemudian berjalan mendekati ketiga dokter yang sudah menunggunya.

"Maaf dokter,  kalo Caramel sudah membuat dokter menunggu." Ucap Caramel, dia sedikit tidak nyaman dengan tatapan kedua dokter terapi itu.

"Tidak masalah Caramel, baik kenalin ini dokter Intan dan dokter Erik. Dia nanti yang akan menjadi dokter terapi kamu, dan dokter ini adalah Caramel pasien scoliosis kita." Ucap dokter Wildan yang masih setia duduk di kursi kebesarannya. Kedua dokter tersebut tersenyum kepada Caramel, dan di balas dengan senyuman kaku Caramel.

"Sudah siap untuk terapi setiap minggu Caramel?" Tanya dokter Erik, pertanyaan itu membuat Caramel terdiam sesaat.

"Siap atau tidak, memang seharusnya saya melakukan ini bukan?" Jawab Caramel, dengan senyum kaku yang masih melekat.

Dokter Erik hanya tersenyum kecil mendengar jawaban Caramel, sepertinya dokter Wildan sudah menceritakan tentang Caramel kepadanya, dari tatapan matanya Caramel melihat ada rasa kasihan kepada dirinya, dan Caramel benci itu. Caramel mengalihkan pandangannya ke dokter Wildan.

"Dokter, kapan saya akan pasang brace?" Tanya Caramel, sebab dia sudah tidak nyaman berada dua orang asing yang terus menatapnya.

"Sekarang, sebentar saya ambil brace kamu ya, setelah itu kita pemasangan."

Caramel hanya mengangguk, melihat dokter bangkit kemudian berlalu ke pintu yang ada di belakang kursinya.

Kedua dokter terapi itu sudah tidak menatapnya, tapi melihat rontgen milik Caramel sambil berbicara yang Caramel tidak mengerti apa yang meraka bicarakan.

Setelah beberapa saat dokter Wildan datang membawa brace miliknya, dan ini saatnya semua akan berubah dirinya yang gak akan bergerak leluasa seperti kemarin, dan Caramel harus melakukan itu, demi dirinya dan untuk kesembuhannya.

Jeng jeng jeng.......

Terima kasih, masih setia dengan Caramel 😢

See you

Ochi.R
06.04.19

Secret Of Caramel Gadis 90°✓ {Revisi}Where stories live. Discover now