Dari Kara Untuk Fadhil

40 3 0
                                    

Cerita ini dikarang oleh adeliemp (Jejak Sedu)

*****

'Putri kecil itu rela untuk mengorbankan semua... Demi sang pangeran yang ternyata tak menghargai usahanya dengan menikahi gadis lain, yang bukan penyelamatnya. Padahal, putri itu rela mengorbankan suaranya demi sepasang kaki yang dalam setiap langkahnya terasa bagai ditusuk sembilu.

Padahal, putri itu bisa saja membunuh pangeran dan mendapatkan ekornya kembali. Namun nyatanya, ia rela berubah menjadi buih laut demi kebahagiaan sang pangeran.'

Gadis itu bermonolog, seolah menceritakan kisah itu pada dirinya. Dan juga—tatapan matanya yang hampa seolah menyiratkan, bahwa ia meresapi dan kenal betul dengan penderitaan yang di alami tokoh itu.

"Kak Fadhil! Itu kakak cantik yang kemarin kasih aku permen!" Adikku, Dhia, menunjuk gadis yang bermonolog pada dirinya sendiri itu. "Kak Kara!" Gadis itu menoleh, senyumnya langsung sumringah ketika melihat adikku. "Ayo Kak Fadhil!" Tanganku ditarik oleh Dhia, mendekati gadis yang bernama Natcha itu.

"Dhia, kakak kangen banget dengan kamu—" ku lihat, gadis itu memeluk adikku dengan gemas, tatapan hampa itu tak terlihat lagi. Lalu, tatapan gadis itu beralih kepadaku. Kara berbisik pada adikku, padahal aku mendengarnya. Dhia, ini siapa? Adikku tertawa, ia menarik tanganku dan tangan gadis itu. Kami berdua berjabat tangan. "Kak Kara, kenalin, ini kak Fadhil. Dia itu kakakku. Nah, kak Fadhil, ini kak Karamel, yang kemarin Dhia ceritain sama kakak." Aku dan gadis itu saling tatap. Dalam seketika aku tersadar. Pakaian yang dikenakannya sama seperti yang Dhia kenakan. Warna biru yang khas itu, menandakan bahwa Kara adalah pasien di sini.

Semenjak pertemuan itu, Dhia berubah seperti semula. Ia ceria kembali, padahal sebelumnya, Dhia sempat menjadi pemurung karena kakinya yang cedera akibat terjatuh dari tangga.

Dan saat itu... Ketika kaki adikku telah sembuh dan telah diperbolehkan pulang. Dhia malah tidak mau pulang karena ingin tetap bersama gadis itu.

"Pokoknya, Dhia NGGAK MAU PULANG! DHIA MAU SAMA KAK KARAMEL!" Akhirnya, setelah dibujuk oleh keluargaku—termasuk gadis itu—Dhia mau pulang. Dengan syarat setiap pulang sekolah, aku menemaninya ke Rumah Sakit untuk menjenguk gadis itu.

Lewat 2 bulan, Dhia dan gadis itu semakin dekat. Namun, yang paling mendominasi adalah Dhia. Yah, anak itu aslinya memang tak bisa diam. Berbeda dengan gadis itu, ia lebih banyak menyimak cerita adikku.

Hingga suatu saat, sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. Sebenarnya gadis itu sakit apa? Karena penasaran, aku menanyakan pertanyaan itu padanya saat Dhia sedang tak ada.

"Namamu Kara kan? Sebenarnya kamu itu sakit apa?" Gadis itu diam, tatapan kosong itu kembali.

"Kenapa kamu harus tau?" Tiba-tiba Kara menoleh ke arahku sambil tersenyum tipis. "Pasti kamu akan jijik bila tahu saya sakit apa." Aku menelengkan kepala, perasaan kondisi tubuhnya baik-baik saja, tak ada luka maupun borok atau semacamnya. Jadi—mengapa aku harus jijik?

"Aids," aku langsung melongo seketika, "Bagaimana? Kamu pasti jijik bukan?" Ia mengerlingkan mata padaku. Aku masih terperangah, sementara gadis itu pergi dari hadapanku.

~~~

Sudah lama aku dan Dhia tak mengunjungi Karamel. Aku yang sibuk dengan ujian dan Dhia juga telah sibuk karena telah menemukan teman baru, yaitu anak tetangga sebelah. 14 Februari, aku ingat betul. Tiba-tiba nama gadis itu terlintas, dan aku berfikir bahwa mungkin ia kesepian. Aku memutuskan untuk menjenguknya kembali. Bagaimana pun juga, ia membuat Dhia tak lagi murung meratapi kakinya waktu itu.

"Wah, saya tak menyangka kamu kembali ke sini," Ia menatapku sebentar. "Saya pikir, kamu jijik dengan saya karena penyakit ini."

Aku diam, kami sekarang duduk di taman Rumah Sakit. "Kamu mau tahu, mengapa saya menyendiri di sini hari ini?" Yah, suasana di taman ini tak terlalu sepi, namun jauh tak terlalu ramai seperti di dalam koridor. Para suster berlalu lalang di sana.

EVENT AIRIZ "Realita di balik Valentine"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang