Momen Emosional

209 19 6
                                    

Karya ini dikarang oleh Oktoray

******

Alam berhenti dari aktivitasnya membolak-balikan kalender di meja kerja. Nama yang sang Mama sebutkan tadi membuatnya terdiam sejenak setelah ingat bahwa hari ini bertepatan dengan tanggal 14 bulan dua kesekian kalinya. Ia masih ingat persis momen bersama perempuan sensasional di masa ia masih duduk dibangku kuliah bertahun-tahun silam.

Ia menatap sang Mama dari balik kacamata tebalnya. Tatapan kesal sekaligus berharap akan sesuatu. Ia kemudian berdiri dan mengambil tas tenteng serta setelan jasnya.

"Alam ke kantor lagi ya, Ma?" Pamitnya mencium kening sang Mama. Pergerakannya bak cahaya. Kilat dan meninggalkan tanya dibenak Bu Luna. Ada apa gerangan dengan Alam?

Sebagai anak paling kecil dari enam bersaudara, Alam Hamka masih satu-satunya anak yang tinggal satu rumah dengan sang Mama di rumah dinasny sendiri. Kelima kakaknya sudah memiliki keluarga sendiri dan menetap di luar kota.

Jika bukan dirinya tidak lalu siapa lagi yang mau hidup berdampingan dengan sang Mama yang sudah cukup tua? Itu sebabnya ia memilih mengambil peran untuk menjaga sang Mama, meski harus mengesampingkan urusannya mencari calon pendamping atau bersosialisasi di luar rumah. Ia tidak menyesalinya. Toh, pekerjaannya memang 'menuntutnya' untuk tidak terlibat dengan pihak yang bisa saja berpotensi memiliki permasalahan hukum.

Alam baru menjabat sebagai seorang Hakim Yustisial termuda berusia 30 tahun di Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA). Sebelum menjadi Hakim MA, ia pernah menjadi Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kendari, Ambon dan Gorontalo, durasinya tidak terlalu lama sebelum akhirnya ia dikembalikan ke Jakarta. Ia dikenal sebagai Hakim muda cerdas, tak takut dibenci dan tidak ada kata kompromi dalam dunia kehakiman yang ia geluti. Maka tak heran jika karirnya cepat menanjak.

----------

Alam masuk ke ruangannya, ia melihat lagi satu tanggal yang menurutnya sangat berkesan. Awalnya senyumnya mengembang dan hanya butuh hitungan detik senyuman itu pun memudar. Suasana hatinya dua bulan ini begitu berbeda dari biasanya setelah ia mendapat kabar menggelegar yang membuatnya menyesali perkataannya di masa lalu. Hal tersebut memicu perubahan sikap dari Alam, ia menarik diri dari berinteraksi dengan rekan sejawat dan orang-orang di instansinya.

Ingatan Alam masih bisa menangkap jelas kejadian sepuluh tahun lalu. Ia adalah mahasiswa aktif yang setia mengikuti satu organisasi saja sedari ia manjadi mahasiwa baru hingga setahun sebelum ia lulus di kampusnya. Di sana ia beradaptasi dengan banyaknya karakter para anggota organisasi, tak terkecuali dengan sang senior bernama Grace Ivanka. Usia mereka hanya terpaut dua tahun, sehingga pengalaman Grace dalam berorganisasi jauh lebih banyak daripada Alam.

Grace terkenal di seantero kampus sosok yang vokal jika menyuarakan pendapat atas nama suara mahasiswa. Ia biasa memegang pengeras suara dan berteriak lantang di depan gedung rektorat kampus, di depan gedung DPR, bahkan di depan istana merdeka. Ia memang perempuan bernyali besar untuk menyuarakan aspirasinya sebagai mesin penggerak perubahan.

Dibandingkan teman-teman sepantarannya yang berusaha mendekati Grace karena parasnya yang cantik, tapi Alam malah sengaja jaga jarak dengan Grace. Ia merasa perempuan seperti Grace adalah orang yang sensasional. Hal tersebut yang membuat Alam memilih tidak ingin bersinggungan dengan Grace. Terlebih lagi rekam jejak Grace sebagai mahasiswa organisatoris sudah masuk daftar hitam dari para dosen, ia disebut sebagai mahasiswi jalanan. Alam cukup mengerti mengapa para dosen di fakultasnya sampai menyematkan hal demikian pada Grace.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Sekuat apapun Alam menjaga jarak tak ingin bersinggungan dengan Grace, ia malah terjebak pada situasi tak menyenangkan yang membuatnya mau tak mau harus berurusan dengan Grace.

EVENT AIRIZ "Realita di balik Valentine"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang