Despicable Val

Mulai dari awal
                                    

"Sayangnya, status Sari nggak bisa dijelasin pakai satu-dua kata aja kayak Winda. Bakal panjang kalo diceritain—"

"Please, cerita aja!"

Demi Tuhan, speaker-ku lancang! Tapi, aku memang ingin tahu sekali, sih. Tahu-tahu kulangkahi batas wajar dan monitor kami nyaris berimpit! Sontak aku menarik tubuhku, tetapi Biru bukannya marah malah terkekeh.

"Kamu semangat banget pingin kenal Sari? Aku cerita, nih, tapi jangan kaget, ya."

Biru kemudian menuturkan bahwa dirinya semula dimiliki oleh ibu Val, perempuan yang usianya sudah kepala enam, sosialita unik yang pegangan wajibnya bukan telepon genggam. Suatu hari, Val yang harus pergi ke pinggir kota untuk urusan kantor mengalami masalah karena gawai pintarnya yang sebelumku diservis, maka ponsel butut sang ibu (sekalian nomornya; slot ponsel itu kebesaran untuk kartu SIM mikro Val) pun dipinjam sementara, hanya untuk panggilan genting. Inilah yang kemudian mempertemukannya dengan Sari, seorang perempuan muda penjaga warung tenda.

Cara Biru menggambarkan Sari seperti mendeskripsikan diri sendiri: sederhana, kusam (uh, merendah dia), dan keheranan dengan sikap individualis pengguna ponsel langsing yang bukannya ngobrol malah bingung pasang caption (peduli amat mau di warung tenda juga). Val pandai membawa diri, maka ponsel ibunya ia simpan dalam tas pinggang, tidak dibelai sedikit pun. Kopi diseruputnya takzim, menarik perhatian Sari walaupun saat itu belum menjelma menjadi ketertarikan romantis. Val-lah yang lebih dulu tertarik secara romantis pada penyeduh kopinya.

Aku tidak suka ke mana pembicaraan ini mengarah, tetapi tetap menyimak.

Waktu pulang, Val memberikan ponsel baru pada ibunya, dengan penuh sesal bilang yang lama hilang. Terang saja ibunya mengomel ('di situ ada catetan resep kukis sama doa tolak bala, kok bisa kamu ilangin, sih?'). Val diam bagaikan putra berbakti yang kebal semburan api, padahal tas pinggangnya menyembunyikan Biru yang sudah menyimpan nomor Sari. 

Sekembalinya ponsel pintar dari tempat servis, kehidupan Val berjalan beda lajur dengan percakapan-percakapan sore di tepi kota, panggilan-panggilan singkat sarat makna, dan pesan tanpa emoji yang memuat perenungan-perenungan 'konyol'. Orang kebanyakan akan menganggap merenung itu 'konyol', tetapi Sari tidak, maka Val bebas berdiskusi dengannya untuk membuka wawasan.

Winda, di lain sisi, cuma menambah perbendaharaan mall dan brand fashion yang diperlukan Val untuk membaur dengan orang 'normal'. Tak tahu ia, setiap akhir pekan ketika ia duduk jemu di rumah dalam rangka family time (ayahnya yang mewajibkan), kekasihnya bersemadi dengan perempuan lain, menyamar sebagai pekerja lapangan junior yang cuma lowong di Sabtu-Minggu dan tak punya smartphone.

"Tunggu, tunggu." Bateraiku rasanya melembung. Kuharap halusinasi belaka. "Val mungkin nggak serius sama Winda, tapi dia konsekuen orangnya."

"'Tertarik secara romantis' sama Sari nggak terus bikin Val ngeduain Winda seperti yang kamu pikir. Sari sekadar obat buat Val di tengah hectic rutinitasnya, kok."

Entah aku yang kelewat tolol atau Biru yang kelewat bijak. Maksudku, cinta segitiga kan klasik sekali, tetapi mengapa Biru tidak menyimpulkannya setegas aku? Val selingkuh. Betapapun kudewakan dia, laki-laki klimis tampan itu masih mendua. Biru, dari kedipan-kedipan pikselnya, juga kentara sekali sebagai pengagum Val, tetapi ia membenarkan tindakan ini. Apakah cinta sebegitu membutakannya?

Ya, sebegitu membutakannya. Membutakanku juga. Val kuanggap penjahat dan Biru adalah santo yang mengasihi tanpa kecuali. Kharisma Biru baru saja naik berkali lipat, padahal kami baru memulai perbincangan beberapa menit lalu.

EVENT AIRIZ "Realita di balik Valentine"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang