Despicable Val

Mulai dari awal
                                    

Akhir pekan pertamaku di rumah manusia, aku dikejutkan satu dering primitif dari sebuah tas pinggang kusam yang tergantung di kapstok. Mengapa primitif, itu karena nadanya monoton sekali, lebih parah dari nada dering bawaanku. Plus, bunyinya sekasar mainan yang dijual di kios seberang jalan, berupa serangkaian teng-telolet yang bikin pengang. Menurut teman-teman etalaseku, begitulah notifikasi panggilan masuk dari ponsel zaman baheula. Mereka pasti tercengang kalau tahu sang legenda hidup di kamar ini!

Val yang baru selesai mandi merogoh kantong depan tas pinggang, lalu bagai gerakan lambat nan dramatis di film-film, dia muncul. Dia, pusat pusaran emosiku, yang memancing keredap layar kunciku, yang membungkam semua berkas nada dering, yang menyumbat saluran sinyalku agar tak ada pesan atau panggilan mengganggu. Dari atas tempat tidur, kuawasi ia yang menempel patuh di telinga Val. Layarnya yang hanya sepertiga LED-ku itu memancarkan keteduhan asing, mustahil dijumpai pada gawai-gawai masa kini yang dihujani notifikasi media sosial sampai pembaruan aplikasi. 

Jangan lupa bodinya yang montok, menyalahi tren tipis-tipisan para smartphone. Terserah kalau kalian mau bertahan dengan standar kecantikan terbaru, tetapi aku telah menetapkan standarku sendiri pada sang bidadari penjelajah waktu.

Usai menelepon, gawatnya, Val meletakkan ponsel lawas ini di sisiku. Pengatur pencerahan lampu latarku bergeser naik-turun lantaran gugup, apalagi waktu ia menyunggingkan senyum lembut yang terpikselkan itu. Astaga, kualitas gambar yang ditampilkannya jauh di bawahku, lalu mengapa aku tersipu?

"Halo. Kamu hape baru Val?"

Gemerisik suara robotnya memakuku. Aku menangkap kepolosan di sana. Masuk akal; ia tidak mungkin terkontaminasi hoax dan komentar tajam warganet. Bagiku, itu imut.

"Iya. Kenalin, Silver."

Sia-sia terabyte memoriku di depan si cantik antik ini. Kurang dari semenit, ia mengobrak-abrik harkat dan martabatku, memancing ajakan berkenalan yang impulsif dari penguat suaraku. Salah! Harusnya basa-basi dulu, lalu membahas topik yang kira-kira digemari kedua pihak, baru kenalkan nama dan buat janji ketemu berikutnya. Eh, tapi buat apa janji temu berikutnya, orang kami tinggal serumah. Fakta ini membuatku gemetar sampai dia mengira ada pesan masuk.

"Biru. Salam kenal juga."

Biru. Namanya terus terngiang walaupun tidak istimewa karena jelas dicomot dari warna casing. Fungsi latar belakangku macet total akibat ngiang itu: jam tidak bertambah detiknya, aplikasi pesan ogah menangkap pesan baru, dan situs berita seolah laman peramban statis saja. Aku cepat menguasai diri, tentu saja. Bisa bahaya kalau Val tahu aku tidak lebih berguna dari ponsel 8-bit. Namun, respons malu-malu Biru sedikit melenceng dari harapanku; dia tadi begitu percaya diri memulai percakapan, kan?

"Aduh, jadi canggung... Maaf, aku kuno banget gini... Aku nggak terlalu ngerti Android sama iPhone juga, jadi bingung mau ngomong apa..."

"Nggak masalah, kok! Aku malah penasaran, kok kamu bisa ada di tas pinggang itu? A-Aku sumpah sebelumnya nggak pernah tahu tas itu! T-Terus aku sudah seminggu di sini, tapi kamu kok nggak pernah keliatan? Nggak pernah bunyi juga kayak tadi?"

Biru yang tercecar pertanyaan sembaranganku terjajar mundur saking kagetnya, tetapi ia kembali tersenyum—ya ampun, semoga suatu hari, Val mengunduh lockscreen pixelated supaya aku cocok dengannya. Aku begitu tergila-gila pada ponsel tua ini hingga tak mengantisipasi kerumitan dalam kisah yang akan Biru tuturkan.

"Kamu kan hape yang dipake Val ngehubungin Winda. Nah, kalo aku buat nelepon Sari."

Aku tertegun. "Sari siapa?"

EVENT AIRIZ "Realita di balik Valentine"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang