36. Di Wisuda Suami

2.9K 189 81
                                    

Lagi-lagi kamu membuat jantungku berdetak abnormal.
Dengan adanya jutaan kejutan yang  dipersiapkan

◇◇☆◇◇

Tiba di Indonesia, aku meminta izin pada Kak Saif untuk kembali ke pondok. Menetap disana sampai malam wisuda diselenggarakan. Lagipula orang tuaku belum meminta izin resmi boyong pada Kiai Hannan. Rencananya nanti selepas wisuda. Sekaligus pamitan dengan seluruh santri putri. Khususnya asrama Darul Fushah. Awalnya Kak Saif keberatan. Dia minta aku tinggal di Dhalem Kiai Hannan. Di kamar pribadinya. Tapi aku harus mengerti posisiku yang masih belum secara resmi menjadi anggota keluarganya hingga acara resepsi tiba.


"Shakila mohon. Boleh, enggeh." Mohonku pada Kak Saif.

"Kita kan udah nikah, Dek. Jadi mereka juga ngerti kok."

"Kak, walau kita udah nikah, tetap aja belum resmi secara kekeluargaan. Lagipula nih ya. Shakila mau menghabiskan sisa  waktu Shakila di pondok. Boleh, enggeh." Kali ini aku menunjukkan ekpresi super melas. Berharap tak lagi memprotes keinginanku.


"Baiklah. Tapi jika Kakak memanggilmu ke rumah Kai, Kakak nggak terima penolakan."

"Kok gitu?"

"Lah emang udah kewajiban istri patuh sama suami, kan?"

"Iya, sih. Tapi, kan....."

"Nggak ada protes. Dosa loh."

"Iya. Iya." Jawabku cepat. "Ah elaah. Baru nikah tiga hari udah bawa-bawa dosa segala." Gumamku lirih.

"Kakak denger loh, Dek. Nggak baik ngedumel di belakang suami."

Aku menoleh. Memanyunkan bibir mendengar ucapannya. "Ini ngedumel di depan. Bukan belakang." Seruku berkacak pinggang.


Dia tertawa. Lalu menarik tanganku untuk mendekat padanya. Karena tidak siap, aku terjatuh di pangkuannya. Seketika itu pula jantungku berdetak cepat. Menyadari wajah kami yang begitu dekat. Aku bisa mendengar deru napasnya yang tenang. Perhatianku teralih pada netranya yang sangat bening. Tatapannya yang teduh selalu sukses membuatku terpana. Bulu matanya lebat walau tidak lentik. Wajahnya...


"Udah puas menelusuri wajah kakak?" Ish nih orang. Belom juga di absen satu persatu udah ngerusak imaginasi aja. "Sayang, kamu tau nggak?"


"Nggak." Ketus aku menjawab. Netraku menoleh ke sembarang arah. Sebisa mungkin tidak menatap netranya.


"Dih ngambek." Tawanya kembali menyembur.

"Sayaaang. Tatap mata kakak."

"Nggak mau."

Dia menangkup kedua pipiku. Menghadapkan wajahku pada wajah tampannya yang rada ngeselin.

"Tau nggak kenapa dari dulu kakak suka banget bikin kamu ngambek?" Aku masih diam. Tak berminat menanggapi. "Karena wajah cantikmu akan semakin cantik kala cemberut. Pesonamu mengalihkan dunia kakak."

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now