13. Lora Bangkalan

2K 153 15
                                    


"Loh, Dek Fia kok malah nangis? Ada apa?"

Air matanya sudah merembes jatuh saat memasuki kamar Neng Fatimah. Dia menutup wajahnya dengan bantal.

"Mas Syahbaz jahat, Kak. Mas Syahbaz jahat." Serunya dengan tangis yang semakin menjadi.

Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap punggungnya.

"Haloo... Dedek.. De.."

Deg

Kenapa tiba-tiba jantungku berdetak cepat. Suara itu seperti tak asing. Kucoba mengalihkan perasaanku. Tiba-tiba mataku tertuju pada ponsel Nyai Aisyah yang masih menyala. Aku mengambil ponsel itu. Ternyata suara yang sempat membuatku merasa deg-degan bersumber dari sini.

"Halooo... Dedek. Kamu masih disana, kan? Dek Ya, maafin Mas."

"Dek, Mas mu nih." Bisikku menyodorkan ponsel.

"Nggak mau. Mas Syahbaz jahat. Fia nggak mau ngomong sama Mas." Tepisnya masih dengan tangis kencang. Neng Nafia menjauhkan ponsel itu.

"Fia... dengerin Mas dulu..."

Aku sudah berusaha membujuk Neng Nafia. Tapi dia bersikeras tidak mau bicara lagi dengan kakaknya. Lora Syahbaz. Antara ragu dan bingung aku memegang ponsel. Harus berbicara pada Lora Syahbaz atau menekan tombol merah. Jika mengangkatnya rasanya tidak pantas seorang santri berbicara dengan Loranya lewat telfon. namun jika dimatikan secara sepihak itu lebih tidak sopan lagi. Duuuh bagaimana ini. Aku bingung. Suara Lora Syahbaz terdengar sangat cemas. Sedang Neng Nafia masih menenggelamkan wajahnya di balik bantal.

Terpaksa aku harus bicara pada Lora Syahbaz. Ini demi kebaikan keduanya. Selama ini aku belum pernah bicara sepatah katapun dengannya walau Neng Nafia sudah sering menceritakan kesehariannya denganku di pondok. Rasa canggung dan grogi menyusup saat hendak mengucapkan salam.

Bismillah. Kutarik napas dalam-dalam seraya mencoba menenangkan diri. "Assalamualaikum, Ra. Mohon maaf jika saya lancang berbicara dengan Pean. Saya sudah membujuk Neng Nafia. Tapi dia malah menangis, Ra."

Duuu ini mulut kenapa langsung ke intinya ya. Harusnya kamu itu dengar dulu tanggapan darinya. Mau bicara sama kamu apa nggak. Gini nih sikapku kalau sudah panik. Semuanya harus serba instan.

"Waalaikumsalam. Iya tidak apa. Fia baik-baik saja, kan?"

"Entahlah, Ra. Dari tadi menangis terus. Tidak mau berbicara dengan Pean."

"Semua ini salahku." Suaranya terdengar sangat khawatir.

"Aku butuh bantuanmu, Da. Bisakah kamu tolong bujuk dia mengerti posisiku. Sebagai kakak, aku juga sangat ingin bertemu dengannya. Dia adik kesayanganku. Bagiku dia adalah segalanya. Tapi Abah tidak mengizinkanku pulang sampai masa belajarku selesai dengan sempurna. Sekali lagi aku mohon padamu. Tolong beri dia pengertian. Hanya kamu yang bisa melakukannya."

Untuk seperkian detik aku tercengang. Kenapa saat berbicara dengannya pikiranku malah melanglang buana. Dan entah mengapa bayangan Kak Saif justru memenuhi pikiranku. Kenapa suara dan sikapnya saat khawatir begitu mirip. Apa mereka kembar? Atau dia-lah Kak Saif-ku? Tidak, Sha. Dia Lora Syahbaz. Bukan Kak Saif. Jika benar, mengapa dia tidak mengenalimu?

"Haloo... Nada. Kamu masih disana?"

Astaghfirullah.... Sadar, Sha. Sadar. Dia Lora Syahbaz. Bukan Saif. Tegas aku menyakinkan hati dan pikiran yang berkecamuk.

"Enggeh, Ra. Saya akan berusaha sebaik mungkin. Insya Allah Neng Nafia akan mengerti. Dia anak yang baik. Jadi Pean tidak perlu Khawatir. Fokus saja sama studi Pean."

"Baiklah. Terima kasih sudah menjaga adikku. Jazakallah, Nada."

"Sama-sama, Ra."

"Assalamualaikum."

"Waaaikumsalam."

Kuletakkan kembali ponsel Nyai Aisyah di nakas. Lalu kuhampiri Neng Nafia yang masih betah bersembunyi dibalik bantal. Ternyata dia sudah terlelap karena kelelahan menangis.

◇◇◇◇◇

"Shakila...." panggil Bella menghentikan sesi menjelaskan. Mengibaskan tangan di depan wajahku yang sibuk melamun. Memikirkan banyak hal tentang Lora Syahbaz dan Kak Saif.

"Eh. Ada apa, Bel?"

"Harusnya aku yang nanya. Kamu kenapa? Dari tadi aku jelasin kok malah bengong aja." Sahutnya dengan nada kesal. "Kamu ada masalah?" Lanjutnya memajukan wajah. Memandangiku dengan curiga.

Cepat-cepat aku menggeleng. "Nggak ada." Elakku berusaha menjauh.

"Jangan-jangan kamu lagi mikirin Lora ganteng, ya." Goda Wardah membuatku sedikit terkejut.

"Cieee cieee. Lagi kasmaran nih. Kamu beruntung banget, Sha. Bisa denger suara Lora Syahbaz. Mana sampe ngobrol pula. Duuu aku jadi baper." Seru Nasya membayangkan dirinya berada di posisiku saat itu.

"Nggak usah ngaco deh. Siapa juga yang mikirin Lora Syahbaz. Yang ada lagi mikir solusi masalah Neng Nafia." Tepisku berusaha mengalihkan fantasi tak berbobot Nasya.

Beberapa hari sejak percakapan di telpon tempo hari Neng Nafia benar-benar ngambek. Dia tidak bisa dibujuk. Bahkan oleh abahnya sekalipun. Dia benar-benar ngambek sekolah. Sampai-sampai tidak mengikuti ujian madrasah.

"Kalo menurut aku sih gampang aja caranya, Sha." Usul Bella.

"Cara apa? Cepetan ngomong." Kompak Wardah dan Nasya Menimpali.

Aku hanya diam. Tak begitu selera mendengarkan saran dari Bella. Biasanya nih anak punya usul konyol gitu. Kadang juga BIKES alias bikin kesal pendengarnya. Bella tersenyum misterius. Membuat Wardah dan Nasya saling pandang.

Ada yang tidak beres nih.

"Bella.. Cepet ngomong, dong. Sariawan, tah?" Seru Nasya tak sabar.

"Iya, nih. Tapi idenya nggak usah yang aneh-aneh ya. kebiasaan nih anak."

"Gak aneh, kok. Saranku kali ini malah berkah."

"Berkah?"

Aku, Nasya, dan Wardah saling pandang. Firasatku makin tidak beres nih.

"Kalian tau apa saranku?"

"Nggak." Serempak kami menjawab.

"Cara terbaik buat Neng Nafia bisa maafin Mas nya sekaligus berhenti mogok sekolah itu cuma satu."

"Apa?"

"Lora Syahbaz harus nikah sama Shakila."

♡☆☆☆☆♡☆☆☆☆♡
◇◇◇☆◇◇◇

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now