21. Acc Khitbah

2.1K 155 6
                                    


Seperti yang sudah kujanjikan, malam ini aku akan menjawab khitbah Lora Syahbaz. Aku tidak mau berlarut-larut dalam kebimbangan. Ini hanya khitbah. Biarlah cintaku pada Kak Saif tersimpan rapi di dalam hati. Tanpa harus terusik oleh keinginan memiliki. Tanpa perlu diungkapkan. Cinta itu fitrah. Dan biarlah ia tetap suci dalam bilik sanubari.

Kulantunkan solawat agar hatiku kembali menghangat. Biasanya selalu menjadi obat penenang ketika aku sedang ada masalah. Nihil. Getaran ketakutan itu masih menguasai hatiku. Membuntuti otakku tentang banyak hal buruk yang mungkin terjadi.

Terdengar dering ponsel menggema di seluruh ruangan. Reflek kami segera menoleh ke sumber suara. Dan tanpa menunggu lagi Neng Nafia segera beranjak mengambilnya.

"Assalamualaikum Mas Ganteng."

Deg.

Hatiku seperti terbentur tembok cina hanya karena mendengar nama itu disebut. Panik melanda. Kalau nanti Lora mau bicara denganku bagaimana.

"Allahumma Solli Ala Sayyidina Muhammad. Tenangkan hati hamba. Ya qolby... Itmainn. Itmainn...." Racauku dalam hati.

"Nafia baik, kok. Nih baru selesai ngerjain tugas. Mas gimana? Baik juga kan?"

"....."

"Alhamdulillah kalau begitu."

"....."

"Kak Nada? Oooh ada kok. Mau bicara tah?"

Jantungku semakin nggak karuan. Kali ini keringat dinginpun mulai menyergap. "Kak Nada. Mas Syahbaz mau ngomong sama Kakak." Neng Nafia menyodorkan ponselnya padaku. Aku masih ragu untuk mengambilnya.

Dengan tangan bergetar aku mengambil ponsel keramat itu dari tangan mungilnya. Ragu-ragu aku menempelkannya ditelinga.

Setelah membaca bismillah dan solawat aku mengucap salam. Sejenak obrolan kami hanya basa-basi. Membuat rasa gugup sedikit mencair.

"Kak, aku mau keluar dulu ya. Laper."

Aku mengagguk mengiyakan. Gadis itu selalu begitu. Setiap kali habis belajar pasti bawaannya lapar.

Terdengar tawa di sebrang.

"Fia. Fia. Kebiasaan banget sih. Selesai belajar selalu kelaparan."

"Enggeh, Ra. Kemaren aja sampe ngamuk karna di dapur adanya hanya mie kuah. Abdi Dhalem belom masak apa-apa."

"Iya, tah. Trus gimana mendiamkannya?"

"Terpaksa cari makanan di luar pesantren." Lagi-lagi terdengar tawa disebrang. Tawa itu. Benar-benar tak asing. Astaghfirullah! Mikir apa aku ini.

"Ohya, Nad. Boleh aku tau jawabanmu atas khitbahku? Maaf jika aku terkesan memaksa."

Aku terdiam. Menghela nafas. Mencoba menenangkan diri. "Sebelum saya menjawab. Bolehkah saya tanya beberapa hal?"

"Silakan. Insya Allah saya jawab dengan jujur."

"Baiklah. Bolehkah saya tau alasan Pean memilih saya sebagai calon Pean padahal kita baru kenal. Belum pernah tau kepribadian asli masing-masing. Bahkan tidak saling mengenal wajah satu sama lain."

"Awalnya aku juga ragu untuk mengkhitbahmu. Karna apa yang terlintas dalam benakmu, terlintas pula dalam pikiranku. Aku sudah meminta saran dari seluruh keluargaku."

Hening. Aku masih bungkam untuk mendengarkan isi hati Lora Syahbaz. Tak berani bicara.

"Nafia adalah sumber utama kebahagiaanku. Dialah motivator semangatku hingga aku berada di Madinah. Semua bermula sejak kepergianku 7 tahun lalu dari rumah, membuat keceriaannya menghilang secara perlahan. Sampai kamu datang membawa tawa dan keceriaannya kembali utuh. Aku sangat bersyukur. Bagiku, kamu adalah anugerah besar dalam hidupku. Lalu Nafia mendesakku untuk segera mengkhitbahmu."

"Jadi Pean mengkitbah saya hanya karna permintaan Neng Nafia?"

"Awalnya, iya. Tapi setelah itu berbagai pertanyaan dan kemungkinan buruk timbul dalam otakku. Makanya aku meminta saran pada semua keluargaku. Terutama Ummi sama Kai. Mereka menyetujui. Lalu demi untuk memantapkan hati, melakukan istikhoroh berkali-kali. Dan... Alhamdulillah sebuah jawaban positif datang. Karna itulah, aku segera mengutarakannya padamu."

"Boleh saya bertanya lagi?"

"Silahkan."

"Apakah pean memiliki kekasih atau seorang wanita yang pean cintai? Maaf jika saya bertanya lancang. Saya hanya tidak ingin merusak kebahagiaan seseorang."

"Dulu pernah. Namun saya sudah berjanji pada diri sendiri bahwa wanita yang akan saya cintai ialah dia yang kelak halal dalam pandangan Allah. Bukan dia yang akhirnya menjeratku dalam dosa."

Aku terdiam. Lelaki ini terlalu sempurna bagiku. Pantaskah aku menjadi makmumya. Sedang aku...

"Lebih dari itu, aku ingin menjalin sebuah hubungan yang diridhoi Allah bersama denganmu. Bersama mengemis cintaNya hingga kelak kita dipertemukan dengan Sang Baginda Rosul."

Aku masih terpesona dengan setiap kalimat yang dia ungkapkan hingga tak menyadari kalau aku justru melamun. Membayang seberapa tampan wajah di seberang telepon ini. Astaghfirullah.

"Apa masih ada pertanyaan lagi?"

"Tidak. Itu saja yang mau saya tanyakan."

"Baiklah. Bolehkah jika aku mengetahui jawabanmu sekarang?"

"Bismillahirrohmanirrohim. Saya bersedia menjadi makmum sampean karena Allah dan Rasulnya." Ucapku mantap. Membuat Lora Syahbaz terkejut. Masih belum mempercayai pendengerannya sendiri. "Saya serius. Demi bakti saya pada guru dan keluarga, insya Allah saya siap menjadi istri sampean." Ulangku dengan kalimat yang lebih meyakinkan.

Entah berapa lama kami mengobrol. Yang pasti aku baru menyadari Neng Nafia belum kembali ke kamar. Kemana dia. Masa iya makan saja lama banget. Tumben. Setelah pamit ingin menutup panggilan, aku mencari keberadaan Neng Nafia di dapur Dhalem.

"Mbak Rara, ada Neng Nafia, nggak?" Tanyaku pada salah satu abdi Dhalem.

"Tadi kayaknya ikut Gus Arzaq ke luar, Mbak. Kalo nggak salah mau beli sesuatu ke minimarket."

"Owalah. Makasih, Mbak. Saya balik ke dalam dulu."

"Sama-sama."

Baru saja menyentuh knop pintu kamar, sebuah suara memanggilku.

"Kak Nada..."

"Dek Fia dari mana?"

"Ikut Oom beli eskrim."

"Udah makan?"

"Udah. Trus dibeliin eskrim sama Oom. Ada banyak cemilan juga." Tunjuknya pada kresek putih. "Malam ini Nafia mau tidur disini."

"Tumben?"

"Soalnya Fia mau tidur sama calon Kakak ipar." Serunya sembari menarik lenganku. Tatapan matanya menbuatku bergidik.

Apa? Kakak Ipar? Apa dia sudah tau semuanya? Allah. Jadi malu sendiri mendengar panggilan barunya.


Post:
Jum'at: 9 Maret 2018

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ