9. Tasbih Cinta

2.1K 135 4
                                    

Tak Sanggup ku memikirnya lagi.
Habis separuh nyawaku tangisimu.
Tiada lagi bait yang indah.
Terdengar merdu terucap.
Merayu menyanjungku.
Tenangkan jiwa.

◇☆◇◇


"Jaga diri baik-baik, kawan. Jangan sering telat makan. Biar nggak makin kurus kering."

"Kayak situ gemuk aja."

"Lah... Iya sih. Tapi aku kan makan di rumah sendiri. Jadi nggak usah khawatir."

Mereka tertawa. Tawa terakhir yang akan kusaksikan sebelum Kak Saif pergi. Aku tidak tau kapan dia kembali."

"Dek Unyil..."

Reflek Aku menatap matanya. Ya Robb... Mata itu begitu sendu. Ingin rasanya kuhapus air matanya. Aku sudah tak sanggup menahan air mata yang mulai merembes memenuhi pipiku. Ku usap satu persatu air mata yang tak mau berhenti mengalir.

"Semoga disana Kakak bisa mendapatkan ilmu terbaik dari guru-guru terbaik. Dan semoga suatu saat ilmu Kakak menjadi ilmu yang barokah manfaat. Menjadi media suksesnya Kakak dalam dunia. Khususnya di Akhirat kelak."

"Amin."

Kak Saif melepas tas gendong kesayangannya. Aku tidak tau apa yang dia lakukan. Beberapa saat kemudian dia mengeluarkan kotak kecil berwarna hijau. Ketika dia membuka kotak itu, tampaklah sebuah gelang tasbih berwarna hijau muda. sangat manis dan juga terkesan kalem.

"Siniin tanganmu."

"Buat apa?"

"Udah lakuin aja."

Bingung dengan permintaanya, aku mengangkat tangan kananku di depannya. Ternyata dia memakaikan gelang itu di tanganku seraya membaca doa dengan lirih. Aku tidak tau doa apa yang dia baca.

"Berjanjilah sama Kakak. Sampai kapanpun kamu tidak akan melepas gelang ini. Bahkan jika suatu saat Allah tidak menakdirkan kita bertemu dalam waktu dekat."

"Maksud Kakak apa?"

"Gelang itu hadiah dari Kakek. Jangan pernah dilepas."

"Insya Allah, Kak."

Kak Saif tersenyum bahagia. Ada rasa lega terpancar di wajahnya. Ingin ku menatap wajah itu selama mungkin. Namun dia harus segera pergi. Pesawat yang akan membawanya pergi sebentar lagi akan terbang tinggi. Membawa raganya pergi jauh.

Setelah berpamitan dengan seluruh keluarga, Kak Saif masuk ke dalam mobil. Kali ini air mata tak lagi kutahan. Kak Iam memelukku dalam diam. Dia berusaha menguatkanku walau sebenarnya hatinya sendiri juga sedih.

◇◇◇◇


Awal kembali aktif sekolah, aku kehilangan semangat. Kepergian Kak Saif membuatku kehilangan banyak kisah. Di setiap sudut sekolah yang terbayang adalah wajahnya, tawanya, keceriannya, nasehatnya, juga hal-hal kecil yang selalu dilakukannya.

Apalagi saat duduk di kantin. Bayangan saat dia menculik bakso terbayang jelas dihadapanku. Ingin aku menghapus semua bayang itu. Namun, semakin kucoba bayangan itu semakin kuat mengkungkung.

"Kok diem aja, Sha? Di makan dong baksonya."

Aku tak mengindahkan ucapan Mbak Aira. Bakso itu hanya tergeletak pasrah dihadapanku. Keliatannya enak banget sih. Tapi entahlah. Seleraku mulai menghilang. Memilih bungkam.

"Udahlah, Sha. Ikhlasin aja. Semua kan demi kebaikan dia juga." Sambung Indah mengusap lenganku.

"Iya, Sha. Suatu saat kalian bakal ketemu lagi, kok. Dia kan udah janji sama kamu kalau setelah lulus bakal kembali kesini." Aris juga ikut berkomentar.

"Betul betul betul." Kini Said yang menimpali.

Tumben Si biang kerok nggak ikut nimbrung. Biasanya dia yang paling greget.

"Eh, Mar. Kasih saran gitu sama Shakila. Kok malah ikutan diem aja." Aris menyikut lengan Amar yang tengah menyangga dagunya. Tak ayal dia hampir terjerambat akibat sikutan Aris.

"Apaan, sih! Gangguin orang lagi gallon aja." Si biang kerok pasang tampang garang.

"Kamu? Gallon?" Aris tertawa. Diikuti yang lain. "Sejak kapan Si Biang Kerok gallon?"

"Sejak orang yang sering traktir bakso pergi!"

Said memukul bahu Amar. "Dasar kamu, Mar. Kirain apaan."

"Salahku apa coba." Dia mulai garuk-garuk kening sambil cengengesan seperti biasa.

"Ohya, Sha. Kak Saif udah menghubungi kamu, belom?"

Aku menggeleng. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak kepergian Kak Saif. Tapi sampai sekarang belom mendapat kabar apapun darinya. Hal itu pula yang membuatku tak tenang. Apa dia baik-baik saja. Apa dia sehat disana? Apa dia betah dengan lingkungan barunya? Apa dia .... Huuuh mulai nih. Otakku dipenuhi banyak pertanyaan. Bikin kepala berdenyut.

"Udah husnudzon aja. Kak Saif pasti baik-baik aja disana." Ucap Mbak Aira seakan mengerti apa yang tengah kupikirkan.

Beberapa saat hening. Aku tak bersuara. Pun The Gokil sama-sama terdiam. Semua sibuk dengan fikiran masing-masing. Entah apa yang ada di otak mereka. Tiba-tiba dering ponselku mengejutkan keheningan. Menyadarkan kami yang berekspektasi.

"Siapa, Sha?" Tanya Indah.

Aku mengedikkan bahu seraya mengambil ponsel dari kantong rokku dengan malas. Aku tertegun melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ini beneran? Apa aku sedang halusinasi?

"Siapa?" Tanyanya lagi.


◇◇◇◇◇☆☆☆◇◇◇◇◇
☆☆☆◇◇☆☆☆



Siapa siih yang calling sampe mereka pada melongo gitu?

Alvie kan kepo juga...
Boleh di intip nggak.

Soalnya kan layarnya nggak keliatan dari sini....😂

Heleeeh ...
Ngaco kamu, Al.

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now