24. Jum'at Berduka

2.2K 142 2
                                    


"Idza Jaa'a Ajaluhum La Yasta'khiruna Saa'atan Wa La Yastaqdimun.."

Ketika datang ajal seseorang maka takkan bisa diakhirkan. Tidak pula bisa didahulukan.

Kematian selalu menjadi misteri. Takkan pernah ada yang tau kapan ajal datang menjemput. Semua sudah dirancang sedemikian rupa oleh Allah sang penggenggam nyawa. Berhentilah bersikap seolah-olah kehidupanmu masih seluas bentangan langit lepas. Karena sejatinya semua bisa kembali pada kuasa Allah dalam satu kedipan mata.

Semua manusia pasti akan merasakan apa itu 'kematian'. Takkan ada yang bisa lolos dari kematian. Semua orang sudah mendapat jatah giliran menghadap pada sang Pencipta. Tinggal menunggu antrian saja kapan malaikat maut menjemput.

Hari ini setelah dua hari perasaanku tidaklah senyaman biasanya, kabar duka itu mampu memporak porandakan persendian kebahagiaanku. Sesadar apapun pendengaranku, Penglihatanku, serta sistem saraf seluruh indra yang melekat pada jiwaku, tetap saja kabar itu seperti sebuah mimpi buruk yang mampir dalam istirahat sejenakku.

Tidak!!!!

Segalanya nyata kala seluruh saudara mengatakan bahwa dirimu telah pergi jauh. Tetap saja bayang kehadiranmu mengisi rongga hidupku.


"Kakek..." Suaraku mulai melemah. Tubuhku sudah mulai tak terkondisikan sejak kemarin. Tangisku tak mampu kucegah. Rasa kehilangan masih menggerogoti jiwaku.

"Sayang... Udah ya. Nangis boleh. Tapi jangan berlarut-larut. Kasian kakek kalo kamu nangis terus." Ummi mengusap lembut bahu kananku. Seperti yang selalu beliau lakukan setiap kali merasa sedih.


"Sekarang kita keluar yah. Kita doakan Kakek. Saat ini yang dibutuhkan kakek bukan tangis. Bukan kesedihan. Hanya doa yang beliau harapkan."

Ummi dan Kak Iam menuntunku menuju ruang keluarga. Dimana jasad kakek terbungkus kain sampir. Beberapa keluarga sibuk dengan Al-Quran masing-masing. Ada yang membaca Yasin ada pula yang membaca Al-Mulk.

Kakiku gemetar kala duduk disamping kanan kakek yang sudah terbujur kaku. Wajahnya terlihat damai. Sebaris senyum tersungging di bibirnya yang pucat.

"Ini, Dek." Kak Iam menyodorkan sebuah Al-Quran kecil.

"Nanti kalau jatah kakek sudah habis, kamu harus hadiahkan kakek yasin fadilah kesayanganmu. Jangan lupa juga surah Al-Mulk kebanggaanmu. Kakek akan bahagia sekali, Nak. Dengan begitu kakek akan merasakan kasih sayangmu tetap menemani kakek hingga alam persinggahan."

Air mata kembali luruh kala ucapan kakek kembali terngiang. Wajah teduhnya begitu jelas dalam ingatan. Tawanya masih segar kala itu.

"Kak Nada." Sebuah suara kecil membuatku menoleh. Tanpa menghentikan bacaanku. "Innallaha Maas Sobiriin." Ucapnya lirik memeluk bahuku.

Neng Nafia duduk di sebelahku. Menemaniku sembari ikut membaca Yasin dengan tartil.


◇◇◇◇◇

Author pov.

"Ummi, Fia boleh nggak nginep disini? Fia mau nemenin Kak Nada. Boleh ya Ummi."

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα