15. Syahbaz - Saif

2K 155 2
                                    

Kondisi Neng Nafia mulai membaik setelah beberapa hari terbaring lemah di brangkar rumah sakit. Terpaksa aku meninggalkan ujian demi menjaga Neng Nafia. Dia tidak mau jauh dariku barang sebentar. Kulihat Neng Nafia tersenyum puas. Ku usap pipi tembemnya dengan pelan. Rasanya sudah lama sekali tak kulihat senyum manis itu.

"Umy janji kan sama Fia kalo Mas Syahbaz bakalan pulang?"

"Iya, Sayang. 2 hari sebelum wisuda Mas Syahbaz pulang. Sekarang kamu harus sembuh dulu, ya. Makan yang banyak biar nanti kalo Mas pulang, kamu sudah sehat." Cepat-cepat Neng Nafia mengangguk. Semangat. Senyumnya semakin lebar. Rona bahagia terpancar di wajahnya yang masih pucat.

Kuambil bubur ayam diatas meja. Lalu ku suapi ia dengan telaten. Sesekali Neng Nafia berceloteh riang. Dia menceritakan banyak hal tentang kakaknya. Dengan sabar aku menyimak sambil menyuapinya dengan semangat.

"Mas Syahbaz suka nyanyi, Kak. Dia sering ngajari Fia. Kadang juga ngajari Fia belajar menabuh hadrah."

"Trus kamu bisa nggak nabuh hadrahnya?"

"Belom. Soalnya cuma belajar dua kali. Mas Syahbaz nggak mau tinggal di rumah."

"Loh emangnya tinggal dimana? Kok nggak tinggal di Dhalem?"

"Mas Syahbaz sekolah di luar. Dia nggak mau sekolah di pesantren. Makanya sama Baba abis lulusan langsung di sekolahin di Madinah."

Aku mengangguk paham. Jadi begitu ceritanya. Kutaruh mangkok bubur di atas meja. Setelah meminum sirup, Neng Nafia terlelap. Ia tersenyum. Mungkin karena membayangkan sebentar lagi kakaknya akan pulang.

Kubelai rambutnya dengan pelan. Sesekali ia menggeliat. Mencari posisi yang nyaman. Lalu kembali terlelap. Ku rapikan selimut yang membungkus tubuhnya.

◇◇◇◇◇

Kantin Rumah Sakit.

"Shakila ....."

Aku terkejut ketika seseorang memanggilku yang tengah menyeruput es teh. Melihat sekeliling memastikan pendengaranku tidak salah. Ternyata orang yang memanggilku adalah Mbak Dhea. Dia berlari ke arahku dengan wajah berseri. Belum juga buka suara tiba-tiba Mbak Dhea memelukku erat. Mengatakan rindu padaku.

"Ya Elaaah, Mbak. Nggak usah buru-buru banget bisa gak sih?" Aku cemberut melihat tingkahnya. Karena hampir jatuh terjerambat.

"Aduh, Maaf, Sha. Saking senengnya bisa ketemu kamu sampe lupa."

"Masa, sih?"

"Iya, dong. Masa kamu nggak kangen sama Mbak."

Mbak Dhea makin cantik saja. Hampir 3 tahun tidak bertemu sudah banyak yang berubah. Mbak Dhea memang aslinya sudah cantik. Tapi sekarang Dia lebih keliatan anggun sekaligus terlihat dewasa.

"Kangen, kok. Tapi dikit." Kulihat Mbak Dhea makin cemberut. "Ohya, Mbak masih berkomunikasi sama Kak Saif, nggak?"

"Udah nggak, Sha. Terakhir kali kami berkomunikasi 2 tahun lalu pinjam ponsel temennya di kampus. Itupun ngobrol bentaran doang. Belom sempet ngilangin kangen."

"Kenapa?"

"Larangan keras dari paman. Karena nilai kuliahnya anjlok."

Ingin rasanya aku mengorek banyak informasi dari Mbak Dhea tapi waktu kebersamaan kami terbatas. Aku harus kembali ke kamar rawat Neng Nafia, sedang Mbak Dhea menuju kamar rawat neneknya.

◇◇◇◇◇

Seminggu telah berlalu sejak kepulangan Neng Nafia dari rumah sakit. Kiai Hannan melarang Neng Nafia tinggal di Asrama. Beliau ingin sekalian mengawasi kondisinya yang belum pulih betul. Beliau sangat menyayangi Neng Nafia.

"Kak Nada harus kenal sama Mas Syahbaz. Dia orangnya baik banget, perhatian, trus dia suka buat Nafia ketawa."

Lagi-lagi Neng Nafia berceloteh riang tentang kakaknya. Kadang pula bersenandung nasyid yang diajarkan kakaknya terlantun merdu. Suaranya sangat halus membuat pendengarnya terpesona. Aku tersenyum bahagia. Lega. Akhirnya gadis kecilku kembali menjadi sosok yang menggemaskan. Penuh tawa. Dan.... Cerewet? Pastinya.

Besok Lora Syahbaz akan tiba di Indonesia. Hal itu membuat Neng Nafia semakin tak sabar menantikan kepulangan kakaknya. Kamar yang kini ditempatinya disulap menjadi kamar paling rapi, bersih dan wangi. Sebab kamar itu milik Lora Syahbaz. Sayangnya selama berada di Rembang digunanakan hanya sesekali. Begitulah informasi yang kudengar dari Neng Nafia.

Waktu berlalu terasa lamban dirasakan oleh Neng Nafia. Pasalnya dia sudah tak sabar menunggu. Semalam dia hanya tidur selama 2 jam. Itupun setelah kupaksa memejamkan mata. Dengan ancaman kakaknya akan marah kalau melihat adik kesayangannya jatuh sakit gara-gara kurang tidur. Esoknya, Jam tujuh kurang sepuluh menit, saat Neng Nafia baru duduk di meja makan, Kiai Hannan datang mengabarkan sesuatu. Sebuah berita yang akan mengubah senyum manis dan tawa lepasnya memudar untuk beberapa minggu ke depan.

"Fia...." Panggil Kiai Hannan seraya memegang bahu cucu tercintanya. Aku merasakan ada hal yang tidak beres dari raut wajah beliau. Cemas.

"Apa sesuatu telah terjadi? Semoga tidak." Bisikku dalam hati.

"Ada apa, Kai? Apa Mas Syahbaz sudah naik pesawat. Ayo jemput Mas Syahbaz, Kai." Celotehnya membuat Kiai Hannan menatap sendu. "Kai, kenapa?" Serunya tak sabar. "Cepat Kai. Nanti kita terlambat jemput Mas Syahbaz."

"Kamu yang tabah ya, Nak. Mas Syahbaz ..... tidak bisa pulang hari ini." Akhirnya Kiai Hannan mengatakannya.

"Kenapa?" Wajah yang tadinya ceria seketika berubah mendung. Mata bundarnya mulai berkaca-kaca.

"Kai bohong, kan? Mas Syahbaz udah janji bakalan pulang."

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak terima dengan perkataan Kai nya. Air matanya sudah meluncur dengan mudahnya. Membasahi pipi tembemnya yang mulus.

"Tidak, Nak. Kai tidak bohong. Dengarkan Kai dulu."

"NGGAK!" Kiai Hannan memegang kedua pipi gadis kecil itu. Mengusap air mata yang semakin lama semakin menderas. "Mas Syahbaz sudah siap akan pulang. Dia juga sangat merindukanmu, Sayang. Tapi terjadi sesuatu yang membuat Mas kamu batal pulang."

"Apa? Baba melarangnya tidak pulang lagi? Iya, kan, Kai?" Matanya terlihat marah. Ada kesedihan mendalam meliputi gadis kecil Itu.

Kiai Hannan menggeleng. "Bukan, Nak. Bukan. Masmu batal pulang karena---"

"Karena apa, Kai?"

"Mas mu kecelakaan saat berangkat ke Bandara, Nak. Dan sekarang berada di rumah sakit."

◇◇◇◇◇☆☆☆◇◇◇◇◇
☆☆☆◇◇☆☆☆

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now