14. Rindu

1.9K 162 0
                                    


Reflek kutimpuk kepalanya dengan bantal. Dasar Bella. Bener-bener tuh anak, ya. Keselek tulang tempe apa salah minum obat sih? Asal ceplos saja tuh mulut. Nasya sama Wardah tertawa cekikikan mendengar ocehan Bella. Aku? Jangan ditanya bagaimana ekspresi wajahku. Pastinya kalian bisa menebak sendiri betapa garangnya wajahku. Tak lupa dengan mata melotot kesal, kedua alis bertaut dan bibir mencebik.

"Beneran loh, Sha. Nggak becanda ini. Neng Nafia kan sayang banget sama kamu. Apapun yang kamu katakan dia turuti. Cocok banget lah sama karakternya dia."

"Bella... Apaan sih!" Nih anak bukannya bantuin pecahin masalah, malah makin nambah ribet.

"Kalo menurut aku sih. Usul Bella nggak jelek-jelek amet kali ini." Celetuk Nasya. "Dan... Secara pribadi aku dukung, Sha." Sambungnya lagi disela-sela tawa.

"Aku juga. Kalian berdua cocok kok. Yang satu tampan. Satunya lagi cantik. Ada manisn-manisnya lagi." Wardah segera mengacungkan dua jempol. Mirip iklan Lee Mineral.

"Emang kamu tau kalo wajah Lora Shahbaz ganteng?" Selidik Nasya.

"Tau, lah. Aku di pondok ini kan sejak SMP. Jadi tau sama wajahnya Lora ganteng pas dia sekola SMA disini." Jawabnya jumawa. Lalu beralih melirikku. Bermaksud melanjutkan godaaan. "Dia emang manis banget wajahnya. Persis kayak wajah Shakila."

"Manis? Gula kaleee!!" Semburku ketus. Mereka tertawa lagi. Kompak. "Kalian bener-bener ya. Nggak ada yang nyambung. Udah ah aku pergi aja. Kepalaku makin pusing dengerin ocehan ngelantur kalian."

Aku berdiri dengan kesal. Beranjak pergi keluar dari Musollah utama. Tempat kami mutolaah saat ini.

"Loh Sha. Kok ngambek sih. Niat kita kan baik."

"Baik dari Hongkong!"

"Shakila... Oi Shaaa..."

Aku tak mengindahkan teriakan Bella. Biarkan saja mereka ngoceh ngalar ngidul nggak jelas. Mending kembali ke Asrama. Kepalaku terasa berat. Penglihatanku juga mulai bermasalah. Mungkin ini akibat kurang tidur beberapa hari ini. Entah kenapa pikiranku sering berkelana tanpa tujuan. Kadang terpikir masalah Neng Nafia, kadang pula aku tak bisa tidur karna memikirkan Kak Saif. Konsentrasiku sering terpecah belah oleh beberapa hal. Teringat permintaan Lora Syahbaz lamunanku terusik. Merasa bersalah karena belum bisa membujuk Neng Nafia.

Akhir-akhir ini Neng Nafia sering menangis. Susah sekali membujuknya sekolah. Dan yang lebih membuatku khawatir dia ngambek makan. Jadwal makannya benar-benar kacau.

Kuperhatikan gadis kecil yang selalu terlihat menggemaskan itu meringkuk dibalik selimut Cinderella kesayangannya. Matanya sembab. Wajahnya terlihat sayu. Dia tertidur setelah beberapa jam menangis. Terkadang kudengar dia mengigau nama Lora Syahbaz. Memintanya pulang karena rindu sudah tak terbendung. Tak terasa air mataku jatuh menyaksikan kesedihannya. Aku menyayanginya. Sangat. Dia sudah kuanggap adikku sendiri.

Pukul 04:00 subuh saat semua santri bangun untuk solat tahajjud, aku dikejutkan dengan kondisi Neng Nafia yang memburuk. Suhu tubuhnya sangat panas. Dan dia terus mengigau. Dalam diam ikut menangis sambil terus mengompres dahinya. Mbak Khanza pergi ke Dhalem memberitahu kondisi Neng Nafia yang memburuk. Selepas subuh kugendong Neng Nafia ke Dhalem. Dia melingkarkan tangannya di leherku sambil terus memanggil kakaknya.

"Mas Syahbaz... Fia kangen," isaknya lirik sembari terisak. Sungguh, hatiku seakan teriris mendengarnya begitu rapuh.

◇◇◇◇◇

Mentari pagi setinggi tombak saat Gus Farhat dan Nyai Asiyah tiba di rumah sakit. Tempat Neng Nafia dirawat.

"Ummi, bagaimana keadaan putri saya?" Tanya Nyai Asiyah setelah mengucap salam.

"Alhamdulillah sudah lebih baik." Ucap Nyai Dalilah.

Kuperhatikan wajah cantik Nyai Asiyah. Tampak jelas sangat khawatir pada keadaan putri bungsunya.

"Ini semua salah Abah! Kalau saja Abah menuruti kemauan anak kita mungkin semua ini tak akan terjadi. Biarkan Syahbaz pulang di hari wisudanya, Abah. Biarkan Nafia melepas rindu dengan Kakaknya."

"Sudah, Ais. Ini semua sudah kehendak Allah. Bukan karna suamimu."

"Tidak, Ummi. Sudah hampir 5 tahun Syahbaz dan Nafia terpisah. Mereka kakak beradik, Mi. Mereka bukan orang lain. Wajar jika Nafia sangat merindukan kakaknya. Usianya baru berusia 11 tahun."

"Maafkan Abah, Ummi. Maafkan Abah yang sangat egois memisahkan mereka. Tapi ini semua demi kebaikan Syahbaz. Dia harus mendalami ilmu agama sebelum pulang ke Indonesia."

"Dengan cara mengorbankan kebahagiaan Nafia? Tidak, Bah. Dimanapun, Syahbaz bisa menimba Ilmu. Dia harus pulang bulan ini. Nafia harus lulus sekolah, Bah. Dia harus kembali menjadi Nafia yang dulu. Dia harus sehat. Dia harus kembali ceria. Dia---"

"Abah benar-benar minta maaf sudah bersikap tidak adil. Sungguh tidak pernah terpikir kalau Fia akan seperti ini. Baiklah, Abah akan menyuruh Syahbaz pulang. Demi Nafia. Tapi Ummi harus tenang dulu, ya. Sekarang yang paling penting fokus pada kesembuhan Fia dulu."

Nyai Asiyah memeluk suaminya. Menangis sejadi-jadinya. Aku bisa merasakan kekhawatiran serta kebahagiaan bercampur dalam perasaannya. Semoga setelah ini kondisi Neng Nafia berlangsung membaik. Dan dia kembali menjadi sosok yang ceria lagi.

Setelah suasana hatinya tenang, Neng Asiyah mengusap sisa air mata lalu menggenggam kedua tanganku dengan tatapan lembut membuatku sempat grogi.

"Terima kasih, Nak kamu sudah menjaga putriku dengan sangat baik. Tanpa perhatian darimu mungkin Nafia akan merasakan sakit yang lebih parah dari ini." Hatiku menghangat mendengarnya. "Fia sangat menyayangi kakaknya lebih dari siapapun. Saya tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Fia tanpa kamu disisinya." Tanpa terasa air matanya kembali merembes jatuh.

◇◇◇◇◇

Langkah kakiku gontai melewati lorong lantai dua rumah sakit ini dengan hati was-was berharap tidak bertemu ruang operasi. Dimana semua alatnya lebih horor dari kamar mayat. Jujur saja aku lebih takut melihat luka dan tetek bengeknya. Apalagi melihat langsung proses luka. Akibat tabrakan, jatuh dan semacamnya. Duuuh menurutku itu lebih horor ketimbang melihat penampakan pocong, kuntil tante, atau gondoruwo sekalipun.

Diperjalanan pulang tanpa bisa kucegah, pikiranku memaksa untuk terus memikirkan ucapan Gus Farhat. Tentang izinnya pada Lora Syahbaz akan pulang bulan depan. Tiba-tiba saja rasa bahagia menyusup tanpa bisa kucegah. Tanpa sadar senyum di bibirku tersungging tanpa mampu kucegah.

◇◇◇◇◇☆☆☆◇◇◇◇◇
☆☆☆◇◇☆☆☆

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang