22. Mendekap Senja

2.2K 127 6
                                    

Bukankah kamu tau 10 menit sebelum adzan maghrib berkumandang adalah waktu paling spesial?
Karna saat itu langit sore tengah mementaskan pertunjukan alam dengan penuh takjubnya.

-Senja Bersamamu.


◇◇☆◇◇


"Yang sabar ya, Sha. Kakekmu pasti baik-baik aja"

"Iya, Sha. Allah pasti akan segera mengangkat penyakitnya. Insya Allah."

"Iya. Makasih banyak doannya."Nasha, nanti kalo ketemu Neng Nafia sampaikan salam maafku karna nggak sempat pamitan. Jangan nakal selama aku nggak ada di pondok."

"Iya, Sha. Nanti aku sampaikan padanya."

Setelah mengucap salam, aku bergegas keruang kantor kunjungan. Kak Iam sudah menungguku disana. Segera dia berdiri kala melihatku muncul di balik pintu keluar.

"Dek," Aku menoleh. Kudapati Kak Iam tersenyum padaku. Dia mengusap pundakku pelan. "Kakek baik-baik saja. Dia hanya kelelahan karna sibuk mengurus sawah. Jadi nggak usah panik, ya."

"Tapi, Kak. Bagaimana Shakila bisa tenang kalo Shakila belum tau keadaan Kakek secara langsung."

Air mataku sudah tak terbendung. Sesak rasanya membayangkan tubuh tua Kakek kesayanganku itu terbaring lemah. Kak Iam tak lagi berkata-kata. Tapi tangan kirinya masih sibuk mengusap lembut bahu kananku. Sedang Tangan kanannya sibuk menyetir. Dia selalu tau bagaimana cara menenangkanku. Reaksi yang ditimbulkan dari usapannya sudah mulai berpengaruh pada otakku. Perlahan namun pasti, hatiku mulai tenang.


Setibanya di rumah sakit aku setengah berlari menuju kamar rawat. Ingin segera melihat kondisinya. Saat masuk, terlihat kakek sedang makan bubur.


"Kakek..." aku merengek manja sembari memeluk tubuh kakeknya yang masih lemah.

"Aduh, cucu kesayangan kakek kenapa nangis. Jelek tau kalau nangis." Kakek mengelus punggungku dengan lembut.

"Shakila khawatir banget sama kakek. Shakila takut."

"Kakek baik-baik saja, sayang. Tidak perlu nangis begitu. Masa iya cucu kesayangan kakek yang sebentar lagi mau nikah masih cengeng saja. Tidak malu apa sama calon suami."

"Ih, kakek." Aku mencebik mendengar ledekannya. Lihatlah, bahkan dalam keadaan lemah seperti itu saja beliau masih sempat menggoda. "Kakek harus cepat sehat, ya. Shakila khawatir banget, Kek. Shakila takut terjadi sesuatu sama Kakek."

"Iya, Sayang. Kakek bakal cepat sehat. Kakek masih belum mau kok menghadap Allah. Kakek selalu berdoa semoga diberi kesempatan bisa menyaksikan cucu kesayangan kakek menikah dengan Lora ganteng. Tak sabar rasanya hari itu tiba." Mata Kakek menerawang. Bibir pucatnya tersenyum.

"Syafakallah, Kakek." Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan setelah mendengar keinginan Kakek.

Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, kakek diperbolehkan pulang. Kakek tidak tinggal di rumahku. Lokasi rumahnya dekat dengan rumah Mbak Dhea. Kakak iparku. Disana Kakek tinggal dengan saudara tertua Ayah, Paman Ahsan.

"Kapan tunanganmu pulang, Nak?" Tanya Kakek saat aku membereskan pakaian kotor kakek di lantai dekat tempat tidur. Pakaian itu kumasukkan ke dalam keranjang.

"Katanya sih sebulan lagi, Kek. Soalnya masih ngurusin tugas akhir. Kalo nggak salah sih sidang skripsi gitu." Jawabku tanpa menoleh. Kemudian pamit untuk mencuci pakaian biar kakek bisa istirahat.


Sorenya, aku menyaksikan senja di belakang rumah. Hari ini benar-benar menakjubkan. Pemandangan senja yang tersaji menyejukkan mata. Aku tersenyum dengan tatapan tak berkedip. Terpesona dengan keindahannya.

"Maka nikmat tuhan mana lagikah yang kamu dustakan?"

Penggalan surah Arrahman itu serasa mengusik pendengaranku. Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa disini. Kuperiksa seluruh tempat. Setiap sudut. Nihil. Tak ada siapapun.

Suara itu begitu familiar dalam pendengaranku. Itu suara Kak Saif. Aku sangat mengenali suara merdunya. Apakah dia ada disini? Hatiku bertanya-tanya. Setitik air mata lolos dari mataku.

Ya Allah...

Izinkan hatiku yang rapuh ini mengikhlaskan dirinya. Biarkan dia tetap menjadi 'kakak' dalam hatiku. Bukan seseorang yang kucintai. Izinkan hambamu ini mulai belajar mencintai calon suamiku. Agar ketika kata halal menyapa, hati hamba benar-benar murni telah memilihnya.

Ku saksikan kembali senja sebelum akhirnya masuk. Menghela nafas dalam-dalam. Melepaskan perasaan bingung yang tiba-tiba melanda hati.

Bismillah....

Tepat saat kakiku melangkah masuk ke dalam pintu, suara adzan maghrib berkumandang memenuhi langit Rembang. Pun seluruh penjuru dunia. Dimana seluruh umat islam berpijak.

"Rodinaa Billahi Robba. Wa Bil Islama Diina. Wa Bimuhammadin Nabiyyan Wa Rosulaa." Lirihku sembari mengangkat kedua tangan. Berdoa. Tepat saat kalimat adzan pertama berkumandang.

"Barangsiapa yang berdoa Rodina Billahi Robba Ila Akhirihi maka niscaya orang tersebut akan di mudahkan ketika sakarotul maut."

Itulah penggalan nasehat Kiai Hannan kala kajian kitab Hadist Tanqihul Qoul pada suatu malam. Dan amalan itu selalu aku istiqomahkan. Selain karena bacaannya sedikit, juga memang sangat mudah diamalkan. Hanya pada saat adzan pertama berkumandang--solat rawatib.

♧☆☆☆♧☆☆☆♧
◇◇☆◇◇

♧☆☆☆♧☆☆☆♧◇◇☆◇◇

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

PostSelasa, 24 April 2018

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Post
Selasa, 24 April 2018

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now