30. Kabar Darimu

2K 134 16
                                    

Apa lagi yang kamu keluhkan jika Allah sudah memenuhi segala kebutuhanmu bahkan sebelum sempat meminta?

☆☆◇☆☆

Keputusanku untuk ikut pulang beberapa hari lalu ternyata membuatku harus mengakui segala rasaku pada Kak Iam.  Aku tidak tau dari mana Kak Iam bisa mengetahui semua perasaanku. Dia adalah kakak yang selalu tau segalanya tentangku. Sejak kecil aku memang tidak pernah bisa menyembunyikan apapun. Sepandai apapun berusaha, tetap saja Kak Iam mengetahuinya.

Cenayang? Bukan. Kakakku bukan cenayang. Tapi entah mengapa dia punya sisi hati yang istimewa ketika menyangkut diriku. Bahkan terkadang aku bingung. Ibuku ummi apa Kak Iam?

"Kamu yah. Tiga hari ngumpet di rumah, balek-balek malah hobi bengong." Wardah. Seperti biasa muncul dengan tepukan di bahu. Dan hal itu selalu sukses membuatku terkejut.

"Dan kamu. Setiap datang pasti gangguin proses ekspektasiku."

"Haaah? Iya, tah? Lagi berhayal enaknya jadi Neng yaaaah." Godanya sambil tertawa. Duduk menyender di sampingku.

"Ngawur!" Sahutku cepat.

"Ceileeeeh. Ngaku aja deh. Sama Wardah tuh nggak usah malu-malu. Jujuran aja kali."

Aku menepuk jidad. Ini anak kalau menggoda emang nggak kira-kira. Dasar wardah non kosmetik! "Udah deh mending kamu pergi aja sono."

"Ngusir nih ceritanya?" Ucapnya dengan tampang pura-pura kecewa.

"Iya," sahutku pura-pura ketus.

"Aaah Shakila nggak asyik banget dah."

"Wardaaaah. Ayo entar keburu tutup tokonya." Panggilan Mbak Firda sukses membuat kami berdua menoleh.

"Iya, Mbak bentar." Serunya balas berteriak. Kemudian pamit ingin pergi ke toko kitab di gerbang depan. 

Setiap membahas Lora Syahbaz pikiranku diliputi keheranan. Aku sendiri tidak faham dengan perasaanku padanya. Dia calon suamiku. Tapi sampai detik ini aku tidak merasakan debaran aneh terhadapnya. Perasaanku biasa saja. Tidak ada yang spesial.  Kadang malah merasa konyol sendiri. Hampir dua tahun bertunangan sampai detik ini aku tidak pernah tau seperti apa dia. Jangankan sosok asli, bahkan fotonya saja aku tidak diberitahu.
Semua ini karena ide gila Kak Iam. Dia yang meminta semua keluarga untuk tidak memperlihatkan wajah Lora Syahbaz padaku. Bahkan dalam bentuk foto. Kesal? Tentu saja. Tapi mau bagaimana lagi.

"Udahlah, Dek. Nggak usah manyun. Suatu saat kamu bakal tau kok seperti apa wajah tampannya. Lagian siapa suruh waktu dia maen ke rumah Kakek, kamu malah sibuk maen sama kucing. Rugi sendiri kan sekarang penasaran akut sama ca-lon su-a-mi."

Aku menepuk jidad. Lama-lama pusing juga mikirin Lora Syahbaz yang masih jadi misteri gini. Beesss... misteri gunung merapi? Mak Lampir kali yak. Musuh bebuyutan si kakeh ompong. Kalagondang. Ah sudahlah. Makin dipikirin malah makin mumet.


"Cieee yang baru dapat nilai 96. Traktir kita dong, Sha." Bella merebut kertas ujian akhir Amstilati. Memamerkannya pada anggota asrama.

"Yeee kalian nih. Masa ia tiap dapat nilai tinggi harus nraktir. Abis dong entar jatah bulananku. Bulan lalu kan udah." Protesku membuat Nasha dan Bella mencebik. "Gantian dong. Harusnya kalian yang traktir."

"Ah elah si calon Neng. Pelit amet sih. Jatah kiriman kita berdua kan masih seminggu lagi. Nggak kayak kamu yang tinggal aloha aja langsung di samperin sama Abang ganteng."

"Iya langsung di samperin. Sapa tau dia bawa lembaran daun kelor tuh buat dimasak." Sahutku menjitak kepala Bella.

"Dikira cari uang gampang kali yak."

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now