12. Takbir Qolbi

2.3K 161 2
                                    


"Allahu Akbar. Allahu Akbar. La Ilaha Illallahu Wallahu Akbar. Allahu Akbar. Walillahil Hamd...."

Suara takbir Hari Raya Idul Adha menggema lantang di seluruh penjuru dunia. Dari setiap sudut dimana semua umat islam berpijak. Menyambut datangnya hari yang sangat dimuliakan Allah. Hari penuh sejarah yang kisahnya terkenal abadi sepanjang zaman. Dari masa kemasa. Dari waktu ke waktu. Semuanya masih sama. Kisah kesabaran dan keikhlasan kedua sosok hebat di dunia. Nabi Ibrohim dan Nabi Ismail.

"Allahu Akbar Kabiro Walhamdulillahi Katsiro Wa Subhanallahi Bukrotaw Wa Asila. La Ilaha Illallahu Allahu Wa La Na'budu Illa Iyyah. Mukhlisina Lahud Dina Wa Lau Karihal Kafirun. Wa Lau Karihal Musyrikun. Wa Lau Karihal Munafikun. La Ilaha Illallahu Wa Allahu Akbar. Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd."

Kembali Suara takbir menggema. Kini fokusnya pada sebuah Aula pesantren putri Al-Barokah. Aula utama. Begitulah para santri menyebutnya.

"Shakila.... Ayo sekarang jadwal kita takbiran." Seru Bella yang baru saja selesai berwudhu.

"Kamu yang jadi hadi, Sha." Ujar Wardah.

"Kok Aku, War?"

"Emang siapa lagi? Sekarang giliran Asrama kita sampai jam 2 nanti. Ayo, lah. Suaraku lagi serak nih. Kalau Nasha sama Bella kurang bisa menguasai nadanya."

Aku masih ragu untuk memimpin Takbiran. Pasalnya, selama tiga tahun berada di pesantren baru kali ini ditunjuk memimpin kegiatan. Pakai mikrofon segala. Bagaimana kalau nanti ada yang salah. Bisa-bisa mengacaukan segalanya.

"Ayo, Sha. Rilex aja. Gak usah panik gitu. Kamu pasti bisa, kok. Lagipula ada kita-kita yang bakal bantu kamu."

Wardah menepuk bahuku pelan. Lima menit lagi Asrama Darul Qinanah akan selesai. Lalu dilanjutkan dengan Asrama Darul Fushah. Asrama kami. Pertama kali memegang microfon rasanya gemetar banget. Apalagi suaraku. Kentara banget kalau sangat gugup. Tapi mau bagaimana lagi. Itu perintah dari Mbak Khanza. Mau tidak mau harus dilaksanakan.

"Mbak, Sha. Abis ini Fia mau tidur, ya. Capek." Neng Nafia merebahkan kepalanya di pahaku. Sepertinya dia sudah benar-benar kelelahan.

Kuusap kepalanya lembut. Beberapa saat kemudian sudah terlelap dengan posisi yang menurutku kurang nyaman. Kepalanya di pangkuanku. Berbantal paha kiri yang tengah duduk bersila. 10 menit lagi pergantian jadwal. Kutunaikan tugasku dengan baik. Baru setelah itu menggendong gadis kecil ini ke Asrama. Merebahkan di bantal kesayangannya dengan hati-hati. Setelah menyelimutinya dengan lembut kuusap kepalanya. Aku menyayanginya. Sama halnya seperti rasa sayangku pada Kak Iam dan juga Kak Sa...if.

Ya Allah... bagaimana kabarnya sekarang? Sudah bertahun-tahun berlalu kehilangan komunikasi dengannya. Baik-baik sajakah dia disana? Apa dia bahagia dengan kehidupan barunya? Tidakkah dia merindukanku? Ya Robb...

"Kak Shakila kenapa? Kok belom tidur?" Lamunanku dikejutkan pertanyaan Neng Nafia.

"Kakak nggak papa, kok. Udah kamu tidur aja. 2 jam lagi sudah harus bangun loh. Kamu nggak mau kan besok uring-uringan gara-gara kurang tidur."

Dia mengangguk mengiyakan. Segera menuruti perkataanku. Memejamkan mata dengan senyuman terlukis manis di bibir mungilnya. Menurutku dia sangat cantik. Ukiran wajahnya sangat sempurna. Matanya bulat seperti boneka dihiasi hidung mancung. Dan yang paling aku sukai adalah suaranya. Walau masih kecil, suaranya sangat merdu. Setiap kali melantunkan solawat, hatiku begitu damai. Baru kusadari satu hal. Wajah serta perilaku mirip dengan seseorang. Tapi siapa ya?

"Suatu saat kamu pasti merindukan suara merduku. Iya, kan? Kakak yakin banget tuh."

Eh....! Lagi-lagi kalimat itu terlintas. Hatiku berdetak cepat. Tiba-tiba rindu itu benar-benar menelusup dalam ruang terdalam. Kak... kapan kembali? Sebelum terlelap alam bawah sadarku melambung ke hari perpisahan dengannya.

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now