32. Marhaban Fil Madinah

2.2K 159 22
                                    

Lafadzkan namaku dalam sabda halalmu.
Agar aku tak lagi ragu akan kesungguhan yang tersorot dalam pendar asamu.
Dengan begitu semoga Allah dengan segera mengalirkan rasa cinta diantara kita berdua.

(Shakila)

☆☆☆◇☆☆☆

Perkataan Neng Nafia tempo hari benar adanya. Akad nikah memang akan dilaksanakan bulan ini. Tepat pada tanggal 18 Rojab. Kata Kak Iam akadnya di Masjid Nabawi, Madinah. Di akad langsung oleh Syaikh Ustman Bin Hasan Assegaf. Beliau adalah salah satu guru tafsir di Madinah. Tempatnya mengenyam ilmu agama selama ini.

Aku bersyukur Allah begitu berbaik hati padaku. Ada begitu banyak rasa syukur yang menggulung dalam hatiku. Kadang, aku berpikir. Siapalah aku yang dengan begitu mudah mendapatkan begitu banyak anugerah.

Aku tidak pernah bermimpi dipinang oleh seorang keturunan Kiai. Tidak pula mengharap bahwa aku menjadi bagian penting dari lingkaran dakwah mereka. Namun, semua di luar kehendakku. Dan satu hal yang paling aku syukuri. Akad nikah di Madinah adalah sebuah anugrah yang bahkan sedikitpun tak pernah terlintas dalam benakku. Dulu, aku memang pernah memimpikan hal itu. Tapi aku sadar siapalah aku yang bisa dengan mudah mendapatkan anugrah luar biasa ini. Harapan sederhanaku hanyalah di pinang oleh laki-laki sederhana. Yang berakhlak baik. Taqwallah. Itu saja.

"Kamu sudah siapkan semua keperluanmu selama disana kan, Deg?"

Aku menoleh. Mendapati Kak Iam menggendong Arsya. Bayi mungil nan menggemaskan itu tertawa dipangkuan Abinya.

"Udah semua." Kataku mencubit pipi tembem bocah manis itu.

"Aa aaa." Racaunya mengangkat tangan. Berharap aku menggendongnya.

"Nak gendong sama Ammah, ya. Cini cayaaaang."

Baby Arsya tertawa di pangkuan Abinya. Dia senang mendapatiku mengangkat tangan. Bersiap mengambil alih dirinya.

"Uuh cayaaang." Aku mencium pipinya kala ia sudah berpindah.

"Kamu ikhlas dengan semua ini?"

"Insya Allah, Kak."

"Saif?" Aku menelan ludah. Kenapa Kak Iam membahasnya lagi saat berusaha menata hati.

"Seperti yang kakak bilang. Cukup simpan dalam hati. Bagaimanapun juga aku harus belajar mencintai Lora Syahbaz. Jahat rasanya jika aku masih memikirkan laki-laki lain saat sebentar lagi akan menikah."

Kak Iam mengelus rambutku. Dia tersenyum tulus. Damai sekali melihat raut wajahnya yang tenang. "Kakak bangga sama kamu. Kakak selalu berdoa agar kamu selalu bahagia. Karena sebagai saudara, kakak tidak mau adik kesayangan kakak meneteskan air mata. Kakak ingin selalu melihatmu tersenyum bahagia. Tidak hanya dengan keluarga, tapi dengan seorang laki-laki yang kamu cintai."

"Makasih banyak, Kak. Karena selama ini sudah berkorban banyak buat Shakila." Aku menggenggam tangannya.

"Berjanjilah kalau kamu akan selalu bahagia."

"Insya Allah."

Besok kami sekeluarga akan berangkat ke Madinah. Tanah haram Rosulullah. Tidak hanya kami, tapi juga kedua orang tua Lora Syahbaz, Neng Nafia, Jai, Jaddati, juga Kiai Hannan.

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now