27. Solawat Cinta

1.9K 134 13
                                    

"Ayo, Nak. Jai sudah tidak sabar ketemu sama teman Jai." Seru seorang kakek tua ketika melihat cucu lelakinya masih sibuk menatap ponsel.

Pemuda itu duduk lesehan di teras depan. Di sebelahnya bertengger novel fenomenal karya Habiburrahman El-Sirazy. "Besok aja ya, Jai. Abas lagi males pergi ke Jawa." Pemuda itu mendesah pelan.

"Ayolah. Berangkat sekarang. Besok Jai ada undangan di kota Sampang. Mumpung sekarang kamu juga libur."

"Haduh, Jai. Kenapa enggak ngajak Abah atau Jaddati aja sih. Kan enak tuh kalo sama Jaddati. sekalian bulan madu." Selorohnya nyengir.

Sebuah Panjhelin mendarat di kepala pemuda itu. Pukulan yang lumayan keras membuatnya mengaduh kesakitan. Diusapnya bagian kepala yang terkena Panjhelin. Sekalipun kecil, rotan itu sangat sakit ketika dipukulkan.

"Sakit, Jai." Gerutunya.

"Siapa suruh banyak alasan. Cepat bersiap atau izin melanjutkan pendidikan di Jawa akan Jai cabut."

"Nggak!! Aah Jai main ngancem-ngancem aja deh. Kalo Abas sampe nggak jadi ngelanjut ke Jawa bisa seteres entar."

Hatinya ketar-ketir mendengar ancaman Jainya. Bagaimana kalau hal itu bukan sekedar ancaman belaka? Terkadang Jainya itu bersikap tegas. Jika sudah bilang tidak ya tidak. Lelaki tua itu tersenyum samar. Ancamannya mereaksi cucunya yang sejak tadi hanya sibuk mengotak atik ponsel.

"Kalau begitu ayo ikut. Kalau tidak---"

"Enggi, Jai. Abas ikut. Kita berangkat sekarang kan? Tapi jangan Abas yang nyetir. Kan Abas belum punya SIM." Serunya cepat. Tak lupa dengan senyum miring penuh kelicikan.

"Terserah kamu. Sana cari Hasan atau Radif. Barangkali mereka tidak sibuk."

"Siap, Jai."

Tepat jam delapan pagi, lelaki tua yang tak lain adalah Kiai Qirom masuk ke dalam mobil. Diikuti Lora Syahbaz yang menyebut dirinya sebagai cucu kesayangan sang Jai. Jai dalam istilah bahasa Madura sama halnya dengan kata Kakek. Sedangkan Jaddati berarti Nenek.

"Kita mau kemana, Jai?" Tanyanya kala mobil memasuki jembatan Suramadu. Jembatan terpanjang penghubung Pulau Madura dengan Surabaya. Suasana pagi itu terlihat cerah. Nampak selaras dengan pemandangam sekitar.

"Ke Rembang." Jawaban Kiai Qirom membuat Lora Syahbaz reflek menoleh. Sedari tadi dirinya sibuk melihat pemandangan.

"Ke rumah Kai?"

"Tidak. Jai mau ke rumah Mas Ramzi. Sahabat Jai semasa nyantri di Makkah. Kemarin baru saja pulang dari tanah suci. Makanya sekarang Jai ingin silaturrohim."

Pemuda itu mengangguk paham. Selama perjalanan, lebih banyak diam. Sang Jai pun tak berniat memulai perbincangan. Pun Hasan, sopir yang hari ini mengantar mereka. Hanya suara solawat yang terdengar memenuhi mobil. Mewakili kebisuan mereka.

"Belok kiri, rumah bercat kuning itu rumah Mas Ramzi." Hasan mengangguk sopan mendengar arahan Kiai Qirom.

"Assalamualaikum, Mas." Ucap beliau kala melihat sahabat baiknya berdiri menyambut kedatangannya. Senyum manis tersungging di bibir tuanya.

"Waalaikumsalam. Kaifa haluk ya akhina fillah." Sambutnya sambil memeluk erat tubuh tua Kiai Qirom.

"Alhamdulillah bi khoir, Mas. Mas sendiri gimana? Pasti sehat kan?"

"Alhamdulillah sehat. Ini cucumu?" Lora Syahbaz yang sedari tadi hanya diam memperhatikan pertemuan mereka berdua segera menjawab.

"Enggeh, Kek. Saya Syahbaz. Cucu Jai." Lora Syahbaz mencium tangan Kakek Ramzi. "Cucu kesayangan," lanjutnya dalam hati.

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Where stories live. Discover now