POETRY

837 47 4
                                    

Seperti cahaya kilap didedaunan, begitu pula saat kulihat bayangmu yang semakin memudar tertimbun kenangan.

Hari-hari panjang telah berlalu, musim telah berganti, dan keadaan sudah jauh berubah dari saat sebelum semua itu terjadi. Entah sudah berapa juta detik yang telah kulalui tanpamu, rasanya seperti baru kemarin diriku ini memelukmu disalah satu koridor sekolah, meminta maaf yang bahkan tak seharusnya kau terima, peristiwa itu rupa-rupanya telah berhasil berlalu. Jauh sebelum aku benar-benar menyadarinya.

Aku sangat merindukanmu, egois bukan? Bahkan dulu, aku sama sekali tak pernah melirik kehadiranmu, sama sekali tidak.

Dulu, bagiku kau hanyalah langit. Yang setiap saat selalu terlihat indah dalam keadaan apapun, yang tak pernah kesepian, dan selalu berhiaskan tawa.

Saat pagi, fajar bersamamu.

Saat siang, awan menaungimu.

Saat sore, senja menunggumu.

Bahkan saat malam pun kau tak pernah sendirian, bulan dan bintang ada disampingmu.

Aku selalu memikirkan bagaimana beruntungnya langit dengan segala yang ia punya. Sampai-sampai akupun lupa, bahwa langit juga pernah menangis, terlalu sering malah.

Lalu aku berpikir lagi. Dan rupanya kau bukan hanya sekedar langit, kau adalah udara. Dimana kehadirannya tak kasat mata, tak terlalu dipandang, tetapi semua orang sangat membutuhkannya.

Dan sama seperti yang lainnya, diriku ini juga butuh udara.

Tapi kau malah pergi.

Sejak kau tinggalkan aku hari itu, rasanya dunia menjadi terbalik. Sayapku menjadi patah, dan air mata ini terus membanjiri pipi.

Asal kau tau saja,

Seperti Raja tanpa mahkota, seperti laut yang tak beriak, dan seperti bumi yang tak berotasi, maka tanpamu pun aku tubang.

Selepas kepergianmu aku tak bisa memikirkan apa-apa, seolah kepergianmu itu turut membawa pergi segala memori ku dimasa lalu. Bahkan untuk membaca satu kalimat mudah saja rasanya aku tak sanggup, karena pilu itu selalu menggangguku, mengusikku, seolah aku tak layak hidup dengan tenang.

Kau tau,

Embun telah pergi di pagi ini, basah hujan semalam pun telah mengering. Namun ketika kulihat perjuangan dibalik cermin, maka yang tersisa hanyalah kenangan. Dimana disana hanya ada pantulan masa lalu dari kisah kasih yang penuh lika-liku.

Aku dan kau ada disana. Sedang berperan entah menjadi diri sendiri atau tokoh lain dalam cerita. Seperti sebuah film lama yang diputar secara klise, tanpa warna, sebab yang terlihat hanya kelabu saja.

Saat aku pejamkan mata ini, sekali lagi gelap mendominasi, dan yang satu-satunya terlihat disana hanyalah sosokmu. Sedang tersenyum manis memandangiku yang dibanjiri air mata.

Dan saat aku membuka mata, yang ada hanya sebuah rindu yang tak bisa aku utarakan. Setelahnya, hanya senyummu yang merambat dalam ingatan, menjeratku dengan kenangan yang terjadi berulang-ulang.

Tapi belakangan ini, aku kembali terpikirkan akan sesuatu. Tentang dirimu yang telah pergi mendahuluiku.

Sekarang ini, aku pikir kau adalah hulu asing bagiku, membuat rindu yang amat mendebarkan. Namun ketika ku menemukan dirimu, kau tak ubahnya hanya sebuah pasir yang bertebrangan. Pergi, hilang diterpa angin entah menuju kemana.

Dan kau memang benar-benar pergi.

Bersama dengan segala sendu yang mengharu biru, kau Pergi menghilang dari pandanganku. Jauh, sangat jauh sampai tak lagi dapat kusentuh.

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang