43 | HELLO, GOODBYE

855 48 0
                                    

Play Music :

NCT 127 - No Longer

"Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah. Hidup adalah sebuah lagu, maka nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah. Hidup adalah cinta, maka nikmatilah."

Pemakaman diwarnai dengan warna putih, sesuai dengan yang Syifa suka. Pemakaman diwarnai dengan tangis para pelayat. Siapa yang menduga gadis periang dengan segudang prestasi disekolah yang tampak baik-baik saja harus pergi secepat ini? Semua orang merasa ini hanyalah mimpi, dan mereka hanya perlu bangun untuk menyudahinya.

Zian masih membeku ditempatnya, menatap nanar pada nisan marmer yang baru saja dipasang disana. Dari tempatnya berdiri saat ini, ia mampu melihat tangis tersedu dari Tia yang tak kunjung berhenti. Wanita itu terus menangis sambil mengusap batu nisan yang ada didepannya, sementara disebelahnya ada Irham yang mencoba menenangkan Tia sembari menabur bunga ditempat peristirahatan terakhir putrinya.

Satu persatu pelayat terlihat mulai meninggalkan lokasi pemakaman, usai berdoa dan memberikan ucapan belasungkawa pada keluarga yang berduka. Disusul Tia yang meninggalkan lokasi meski harus sedikit dipaksa oleh Irham. Mau bagaimana lagi, kelabu sudah menggantung. Hujan akan segera turun membasahi bumi. Zian mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki yang kini tengah terisak cukup keras, laki-laki itu berjongkok sambil terus memegang nisan yang ada disana.

"Ayo pulang, Lan." Zian berujar sambil sedikit mengguncang tubuh Alan.

"Pulang aja sendiri. Aku masih mau disini."

"Kamu nggak malu, diliatin Alfira kayak gitu?" Zian berujar jengkel sembari mengarahkan telunjuknya pada Alfira yang termangu menatap Alan.

"Pulang ya, Li. Besok kita kesini lagi. Sekarang udah mau hujan." Ucap Alfira pelan. Lagi-lagi Alan menggeleng, masih bersih keras untuk tinggal.

"Bahkan langit juga bersedih atas kepergianmu, Kak." Alan berujar parau, laki-laki itu tampak pucat dengan air mata yang terus mengalir. Sementara Zian berkali-kali menyeka air matanya.

"Alan." Panggil Zian lemah.

"Kenapa Kak Syifa kayak gini? Kak Syifa udah janji akan jalan-jalan bareng Alan kalau SIM ku udah keluar, kan? Bentar lagi SIM ku keluar, Kak, mana janji Kakak?" Kata Alan seolah berbincang.

"Alan." Panggil Zian dengan nada sedikit naik.

"Kenapa Kakak nggak nepatin janji, Kak?" Tangan Alan kini mengepal pada tanah basah yang penuh kelopak bunga didepannya.

"Alan Adlian!" Kini Zian menarik bangun Alan dibantu oleh Alfira. Alan terbangun dan menatap Zian lekat. "Kita pulang!" Lanjutnya.

"Kalau mau pulang, pulang aja Kak!" Alan berujar parau, air matanya terus mengalir.

"Bukan gini cara seorang laki-laki menunjukkan rasa sedihnya, Syifa udah tenang Lan! Syifa juga pasti nggak mau liat kamu kayak gini!" Bentak Zian, lantas ia menarik lengan Alan untuk masuk kedalam mobil.

Mereka bertiga meninggalkan area pemakaman dengan sedikit memaksa Alan, sampai-sampai mereka lupa bahwa ada satu sosok lagi yang masih berdiri diam disamping pusara. Laki-laki itu tak bersuara, apalagi meneteskan air mata. Tapi jelas, ia tampak sedang tidak baik-baik saja. Ia menahan tangisnya sekuat tenaga, hingga bibir bagian bawahnya memerah ia gigiti.

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang