42 | SMILE ON MY FACE

751 50 0
                                    

Play Music :

IU - Through The Night

Just like letters on the sand, where waves were. I feel you'll disappear to a far off place. I miss you again, and miss you more.
-IU-

"Aku tidak setuju." Ucap seorang laki-laki setengah baya pada wanita didepannya.

"Itu keinginan Syifa, Mas!"

"Tidak akan ada gunanya ginjal itu ada di tubuh anak sialan itu! Penyakitnya permanen, apa gunanya?!" Laki-laki itu berujar dengan nada yang cukup sarkastik.

"Aku tidak ingin kehilangan seorang anak untuk yang kedua kalinya." Tia memelankan nada bicaranya.

"Kenapa kamu masih nggak bisa ngerti juga?! Aku tetap tidak setuju!"

"Kenapa, Mas? Kenapa?! Kenapa kamu selalu perlakukan Nayla kayak gini?! Dia anak kamu!" Cukup sudah. Tia sudah tidak sanggup lagi merasakan semua ini. Wanita itu terisak, masih mengepalkan tangan sambil terus meneteskan air mata. Sebelum ucapannya kemudian berhasil membuat Irham membeku ditempat. "Kamu tidak bisa menjaga orang-orang didekatmu. Sarah, Syifa, kamu tidak bisa melindungi mereka. Kamu gagal, Mas. Dan apa sekarang kamu masih mampu untuk menerima kegagalan itu lagi? Apa kamu masih bisa melakukannya?"

Irham mendengus keras, sebelum kemudian laki-laki itu berbalik menghadapkan tubuhnya pada jendela besar yang berada di sisi kanan kamarnya. Tubuh tingginya menghalangi sinar matahari masuk hingga membentuk siluet hitam. "Sindrom itu..., Sarah juga memilikinya." Irham mengusap wajahnya kasar.

"Dan aku membenci gadis itu karena dia telah merengut Sarah dariku! Andai dia tidak lahir, aku tidak harus kehilangan Sarah! Dan aku juga tidak perlu menanggung semua penderitaan ini!" Ujarnya panjang lebar.

"Apa maksudmu?" Tia bertanya sembari mendekat. Memperhatikan suaminya tersebut dari samping. Wanita itu mengernyit, lumayan terkejut dengan apa yang sedang ia lihat. Laki-laki itu menangis. Benar, seorang Irham Gymnastiar tengah meneteskan air matanya, tanpa suara.

"Aku tidak ingin seperti ini, keadaan yang memaksaku. Aku terlalu takut menyalahkan diriku sendiri atas kematian Sarah, dan dia...Nayla, sangat mirip dengannya. Gadis itu selalu mengingatkanku tentang Sarah, tentang penyesalan, tentang seberapa pengecutnya aku saat itu." Irham mendengus sebelum melanjutkan perkataannya. "Dan Syifa? Dia terlalu sempurna, aku menyayangi nya. Setiap kali melihat matanya, selalu kenangan indah yang berputar di kepalaku. Bukan malah wajah sedih Sarah yang menangis di akhir hidupnya. Kamu bisa berpikir bahwa aku egois, tapi inilah diriku, laki-laki pengecut yang tidak bisa melupakan kesalahannya."

"Mas..."

Irham tak menjawab, laki-laki itu malah melangkah menjauh mendekati ranjangnya. Sebelum kemudian mengambil sebuah kertas yang memang tergeletak di atas sana. Ia terdiam sebentar, sebelum kemudian ia mengambil pena dan menandatangani kertas itu.

"Lakukan apa yang benar. Setelah ini aku hanya mau mendengar berita bahagia." Ujarnya sebelum berlalu meninggalkan kamarnya.

Tia menyeka ujung matanya yang berair, lalu wanita itu tersenyum samar. Ya, kertas tadi adalah surat persetujuan untuk operasi cankok ginjal Nayla. Dan barusan, Irham sudah menandatanginya.

Ternyata benar. Komunikasi adalah sesuatu yg mudah, susahnya ialah apabila kita tidak menyebutnya dengan perkataan yang mudah.

❣❣❣

Lampu indikator pada ruangan di depan sana telah menyala, menandakan operasi sedang berlangsung. Beberapa orang sedang duduk di kursi dekat dengan pintu ruangan itu. Mereka tidak sedang baik-baik saja, hal itu tampak jelas dari raut muka mereka. Seorang laki-laki dengan rambut yang sedikit berantakan sedang menyandarkan punggung nya pada dinding putih pucat disana. Ia masih menggunakan seragam putih abu-abu khas anak SMA, tas ranselnya ia letakkan begitu saja di atas lantai, dengan satu tangannya yang masih setia menggenggam jemari mungil milik gadis berpakaian sama disebelahnya.

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang