39 | CLOSE MY EYES

748 44 0
                                    

Play Music :

Lee Hi - 내 사랑 ( My Love )

"Pada akhirnya semua akan kembali. Entah itu kembali memiliki atau bahkan kembali kehilangan."

Mata Uang yang Paling berharga di dunia ini adalah Waktu. Tidak seorangpun bisa membeli waktu yang sudah terpakai. Tidak untuk seorang bangsawan dengan pakaian sutra, raja dengan mahkota emas dan jubah penuh rubinya, atau bahkan seorang  konglomerat dengan perusahaan-perusahaan yang tersebar luas di seluruh daratan Asia dan Eropa. Waktu tidak bisa ditukar dengan apapun. Tidak dengan tambang emas sebesar benua, tidak dengan minyak bumi seluas samudra, ataupun tumpukan berlian setinggi gunung. Benar, waktu memang seberharga itu. Karenanya, sebisa mungkin waktu digunakan untuk hal yang bermanfaat. Seperti menghabiskannya bersama keluarga atau berusaha memperbaiki apa yang bisa diperbaiki dari waktu itu sendiri. Hal itu juga yang tengah dipikirkan oleh Syifa sejak ia terbangun. Gadis itu tengah berbaring diatas ranjang putih lengkap dengan selang infus ditangannya, usai meladeni dokter yang baru saja mengantarnya kembali dari ruang khusus untuk melakukan rangkaian tes seperti Computerized tomography scan atau yang singkatnya biasa disebut dengan CT-scan. Syifa tak tau jelas untuk apa, tapi dari yang dokter itu tadi bilang, itu untuk memastikan keadaan dalam tubuhnya baik-baik saja setelah mengalami kecelakaan. Karena kemungkinan juga gadis itu bukan hanya memiliki luka luar, tetapi juga luka dalam yang harus segera ditangani.

Syifa menoleh saat mendengar suara pintu yang terbuka, disana ada Zian yang sedang melambaikan tangannya juga beberapa teman lain. Gadis itu tersenyum, lantas balik melambaikan tangannya pada mereka.

"Syifaaaaa, aku kangen banget. Gimana? Udah baikan? Cepat pulih ya." Seorang gadis berambut pirang yang ada di belakang Zian berkata dengan heboh.

"Seperti yang kamu lihat, Fan." Syifa tersenyum sembari terus menatap gadis itu.

"Kelas jadi sepi nggak ada kamu, Syif." Ujar laki-laki berlesung pipi disebelahnya. Dia Tama, teman sekelas Syifa yang kebetulan juga merangkap sebagai teman les gadis itu.

"Syif, di depan tadi Fanny beli kue buat kamu. Mau coba? Aku ambilin, yah." Zian tersenyum, sembari membuka bungkusan yang sebelumnya sudah ia letakkan di atas meja yang ada di pojok ruangan itu.

"Ini." Lanjutnya sambil menyodorkan sepotong rainbow cake kepada Syifa, yang langsung diterima dengan senang hati oleh gadis itu. Setelahnya mereka asik dengan makanannya masing-masing, membiarkan suara kunyahan remah wafer juga desisan dari selai strawberry pada donat mendominasi seisi ruangan.

"Ma-maaf...aku telat." seisi ruangan menoleh pada asal suara, menadapati seorang laki-laki tersenyum dengan nafas yang terengah-engah.

"Pasha! Kenapa telat, sih?! Udah tau janjiannya jam setengah 2, eh, malah molor setengah jam." Fanny berujar kesal sambil melipat kedua tangannya kedepan dada. Sementara yang diajak bicara tidak menanggapi, memilih mengalihkan pandangannya pada Syifa yang masih sibuk mengunyah pelan rainbow cake ditangannya. "Maaf ya, Syif." Ujarnya.

"Nggak papa, kok. Kalian udah datang kesini aja aku udah senang. Makasih, ya. Asalkan kalian tau, melihat kebersamaan seperti ini selalu bisa membuatku bersyukur. Bersyukur untuk semua nikmat yang Tuhan berikan untukku, untuk kalian, untuk semua. Aku bahkan tidak tau sampai kapan aku bisa merasakan ini." Syifa beruajar panjang lebar sambil memberikan seringai khasnya.

"Sampai nanti, selama yang kamu mau." Pasha berujar lembut. Ah, ini dia yang membuat seorang Elnath Pasha disenangi oleh teman-temannya. Laki-laki itu selalu berujar dengan lembut kepada siapa saja dan dalam keadaan apa saja. Ia juga mandiri dalam segala hal, meskipun berasal dari keluarga yang biasa, Pasha tidak suka merepotkan keluarganya dalam urusan apapun. Termasuk soal tempat tinggal dan kegiatan luar sekolahnya. Laki-laki itu tinggal bersama Bundanya, juga bekerja sebagai guru les di beberapa tempat les besar yang ada di Jakarta.

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang