24 | ATTEMPTED

803 64 8
                                    

Play Music :

Jeong Sewoon - MIRACLE (PROD. Joombas)


"Jangan pernah tunduk pada ketakutanmu. Semakin kau berusaha, kau akan semakin kuat."

Suara merdu piano yang bermelodi mengiringi lagu Ballad yang di bawakan seorang penyanyi cafe, seolah mampu menghipnotis semua pendengarnya. Suara bising kendaraan bermotor yang ada di jalanan depan seolah tak lagi mampu terdengar, semua kedap.

Zian tengah berada di sebuah cafe yang sedang terkenal dikalangan remaja sekarang, laki-laki beriris kelam itu tidak sendiri. Ia sengaja mengajak Syifa bersamanya, mengingat gadis itu juga sedang tidak membawa kendaraan sendiri. Niat hati ingin membeli dua gelas choco frappuncino with wipped cream Zian malah terjebak di cafe tersebut karena hujan deras yang mengguyur setiap sudut ibukota. Tapi tak apa, setidaknya ini akan menjadi salah satu sarana refreshing setelah seharian penuh berkutat dengan masalah dan aktivitas yang ada.

Suasana cafe sedikit ramai, meski tidak ada satupun suara bisik orang yang sedang berbicara. Mungkin karena semua orang sedang menikmati santapannya atau sedang menikmati permainan musik indah dari musikus ballada yang berada di pentas kecil di depan sana.

Zian masih termangu, matanya menatap jalanan diluar sana dari kaca besar yang sedikit berembun.

"Seharusnya hari ini aku harus kemakam orang tuaku." Zian berujar masih dengan tatapnya yang mengarah keluar jendela.

"Hari ini hari peringatan kematiannya?" Syifa bertanya sembari menyesap sedikit frappucino yang ia pegang, dan mendengar pertanyaan itu Zian mengangguk.

"Kadang aku suka berpikir kalau disini bukanlah tempatku. Seandainya saat itu ibuku tidak menyelamatkan ku..., mungkin saat ini dia masih ada dirumah mendengarkan lagu lawas yang ia suka atau sedang memasak makanan kesukaanku untuk nanti malam." Zian tersenyum miris, sebelum akhirnya laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.

"Dunia itu lucu. Dia terlalu cerdik untuk memanipulasi keadaan, seolah-olah setiap orang bersalah akan banyak hal, menghancurkannya dari dalam, dan mengahantuinya dengan ketakutan. Bukankah itu sama saja dengan membunuh secara perlahan?"

"Dunia memang seperti itu, Zi. Dia selalu ada diiringi takdir juga waktu."

"Kamu tau, lukaku masih ternganga, sesalku masih terasa, dan rasa bersalahku belum bisa aku lupakan."

"Rasa bersalah?" Syifa kembali bertanya dengan alis yang menyatu.

"Iya, rasa bersalah. Rasa bersalah soal orang tuaku, terutama Ibu, dan... Adikku. Seandainya malam itu kami tidak pergi, mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi, ledakan itu tidak akan pernah terjadi, dan semuanya akan baik-baik saja. Seandainya malam itu Ibu tidak mengorbankan dirinya demi menyelamatkan ku, mungkin semua tidak akan jadi seperti ini. Tapi semua lenyap, tawa yang seharusnya tercipta malah harus digantikan dengan air mata." Zian berujar panjang lebar.

"Aku baru tau kalau kamu punya Adik."

"Lebih tepatnya seorang Adik perempuan. Aku ingat betul, saat itu usianya masih sekitar tiga tahunan, saat kami berencana menghabiskan malam tahun baru disalah satu villa milik Ayah yang ada di puncak. Dan aku juga masih ingat, saat itu aku sendiri lah yang memilihkan baju untuk dipakai Adikku, Kayla. Baju selutut itu berwarna tosca dengan motif bunga-bunga kecil warna warni yang menggemaskan. Tapi nyatanya takdir memang sekejam itu, karena setelahnya motif bunga itu sepenuhnya tertutupi oleh warna merah." Zian berujar parau dengan sebelah tangan yang menumpu kepalanya.

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang