33. Akad Nikah

Mulai dari awal
                                    

Aku tertegun saat melihat gambaran di layar segi empat tersebut. Aku tertegun melihat sosok pemuda bergamis putih kerah garis dongker duduk membelakangi kamera. Di pundaknya tersampir sorban hijau yang tertata rapi. Sedangkan di depannya duduk seorang guru besar. Mungkin dialah Syaikh Utsman. Wajahnya yang berkarisma.

Kembali mataku terfokus pada sosok bergamis tadi. Bentuk tubuhnya serasa familiar. Tampak gagah seperti....

"Dia calon suamimu. Sebentar lagi akad akan dilaksanakan." Ucap Mbak Dhea membuatku kembali diserang rasa gugup. Tanganku berkeringat.

"Kamu gugup?" Tanyanya memegang telapak tanganku yang sudah gemetar. Dia tersenyum lalu menggenggam tanganku. "Bismillah. Perbanyak baca solawat." Ucapnya saat aku hanya bungkam.


"Bismillahirrohmanirrohim. Ya Muhammad Syahbaz Ali Assaifullah ibna Farhat Qiromullah Ankahtuka wazawwajtuka Mahbubataka Shakila Qotrun Nada Binta Muhammad Karimullah bimahrin mushafil Qur'an wa alatis solati halan."

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bimahril madzkur halan."

Aku tertegun. Jantungku berdetak semakin cepat. Mataku masih menatap tanpa kedip ke arah layar. Memperhatikan setiap gerak-gerik mereka.

"Sah?" Tanya Syaikh utsman pada kedua saksi yang duduk bersebrangan.

"Sah." Serempak keduanya mengangguk mantap.

"Alhamdulillah." Seru-seruan ucapan hamdalah terdengar melegakan.

Doa-doa terlantun kala berpasang-pasang tangan menengadah. Aku ikut mengamini semua doa yang terucap lembut dari lisan Syaikh Ustman.

"Ya Allah. Di tempat penuh kemuliaan ini hamba memohon. Jadikanlah kami jodoh yang sebenar-benarnya jodoh. Pasangan yang sama-sama berkutat meraih cinta-Mu. Amin." Lirih, doaku ikut terlantun beberapa saat sebelum Syaikh Ustman mengakhiri doanya.

"Wasollallahu ala sayyidina muhammadin wa ala alihi wasohbihi wa sallam. Tasliman katsiro. Walhamdulillahi Robbil alamin. Robbana taqobbal minna istajib duaana bihurmatil fatihah."

Aku mengusap kedua tangan pada wajah yang sudah basah oleh air mata. Ummi dan Mbak Dhea memelukku. Aku masih diam mematung. Antara percaya dan tidak bahwa kini statusku sudah berubah menjadi seorang istri.

"Alhamdullah sayang. Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Lora Syahbaz." Bisik Ummi di telingaku.

Setitik air mata kembali jatuh. Aku tidak tau air mata ini karena melihat kelegaan di wajah keluargaku atau karena bahagia menjadi istrinya? Entahlah. Aku bingung. Bagaimana sebenarnya harus berekspresi. Aku seperti orang bodoh yang terlihat linglung di hari pernikahannya.


Ummi menyuruhku mencium takdzim tangan mertuaku, eheem. Yah berasa berat sih mengatakannya. Tapi bukankah memang seharusnya begitu? Setelah itu beringsut menghadap Nyai Dalilah, Nyai Syarifah Fatimah, baru kemudian mencium lembut tangan Ummi dan Mbak Dhea.

"Barakallah, Nak. Semoga Allah menjodohkan kalian hingga kelak di surga." Aku mengamini doa Nyai Asiyah, mertuaku. Beliau mengecup singkat dahiku. Tampak jelas wajahnya bahagia. Apalagi senyumnya selalu tersungging.

Uhibbuka Fisabilillah [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang