Cerita Masa Lalu (Revisi)

95.8K 3.7K 36
                                    

Rio terus memperhatikan Vania yang sedari tadi terus mendiaminya tanpa mengatakan apapun. Bahkan Vania langsung berpamitan pada kakaknya dan memaksanya untuk pulang.

Pasti kalian sudah tahu siapa yang mencekal tangan Rio? Yah, dialah Vania yang tak sengaja mendengarkan perdebatan antara dua mantan sahabat yang membahas tentang hal yang selama ini tak diketahuinya. Vania kira Rio telah berubah, nyatanya tidak sama sekali.

Vania berjalan ke arah meja makan seraya membawa hasil masakannya. Ia meletakkannya dengan Rio yang masih terus memperhatikannya.

"Duduklah, Vania!" titah Rio tegas seraya mengarahkan pandangannya pada Vania.

"Tidak. Kakak makanlah dulu. Aku masih sibuk" tolak Vania lalu melangkahkan kakinya ke arah dapur.

Rio menghela napas dalam seraya memejamkan matanya, "Duduk dan makanlah!" titah Rio menaikkan intonansi bicaranya membuat Vania seketika menghentikan langkahnya.

"Jangan buat aku mengulanginya lagi!" ancam Rio membuat Vania terpaksa berbalik lalu duduk di hadapannya dengan memasang wajah yang masih kesal.

Rio menghela napas panjang melihat mimik wajah Vania. Ia tahu jika Vania kini begitu marah padanya. Tapi mau bagaimana lagi?

"Ada yang ingin aku bicarakan" pungkas Rio sedikit menundukkan pandangannya. Vania hanya duduk diam tanpa menanggapinya.

"Besok aku akan ke Semarang, tapi aku nggak tahu sampai berapa hari. Ada urusan bisnis yang harus aku datangi. Jadi, tetaplah di apartemen dan jaga dirimu" jelas Rio dan hanya dibalas deheman oleh Vania tanpa mengarahkan pandangan kepadanya.

Rio memejamkan matanya lalu menggerakkan tangannya mengambil nasi dan lauk. Sedangkan Vania masih saja terdiam dan memalingkan wajahnya.

"Makanlah" titah Rio sebelum melahap makanannya.

----------------

Vania melirik ke arah Rio yang sudah tertidur nyenyak di sampingnya. Ia mendudukkan dirinya sebentar lalu beranjak dari kasurnya berjalan keluar kamar untuk meminum air dingin supaya bisa mendinginkan pikirannya saat ini.

Vania menekan saklar untuk menyalakan lampu lalu berjalan menuju dapur. Ia mengambil gelas lalu membuka kulkas dan menuangkan air ke dalam gelasnya.

Vania berjalan ke arah sofa lalu mendudukkan dirinya di sana. Dia meminum beberapa tegukan lalu meletakkan gelasnya di meja yang berada tepat di depannya.

Vania menyandarkan punggungnya, menengadahkan kepalanya seraya menutupi wajah dengan kedua tangannya. Sayup-sayup, terdengar suara isakan yang tertahan yang begitu pilu bila ada orang lain yang mendengarnya.

Vania menangisi semuanya sendiri di tengah malam. Hatinya begitu lara mendengar fakta apa yang ia ketahui tadi. Ia kira Rio sudah mulai melupakan Shafa, tapi malah sebaliknya. Bahkan Rio mengerahkan semua usahanya untuk mendapatkan informasi.

"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" isak Vania seraya mengacak rambutnya. Ia memang selalu seperti ini, setiap kali ia marah pasti ia akan menyesalinya dengan cara menangis.

Jujur saja ia merasa cemburu bahkan sangat cemburu dengan Shafa karena bisa dicintai oleh lelaki seperti Rio. Sedangkan dirinya, ia terus merasa lelah, kecewa, dan marah terhadap dirinya sendiri karena telah membuat semuanya menjadi serumit ini.

Perlahan Vania menidurkan dirinya di sofa seraya terus menangisi takdir yang terus saja melukainya. Di salah satu sisi, ia begitu kecewa dan di sisi lain ia tidak bisa berbuat apa-apa membuat dirinya semakin tersiksa.

Ia tahu jika Rio hanya menganggapnya hanya sebatas status istri dan seorang teman bukan seorang kekasih yang begitu dicintai.

Vania tidak tahu jika sedari tadi ada suaminya mengintip di balik pintu kamar mendengar semua tangisannya. Rio mengepalkan kedua tangannya menahan rasa kecewa yang ikut hinggap di dalam hatinya. Rasa kecewa terhadap dirinya sendiri yang masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya.

MY BELOVED DOCTORWhere stories live. Discover now