#62

1K 89 41
                                    

Tulang yang pernah patah, akan selamanya di ingat kalau dia patah. Walaupun bekasnya memudar dan menghilang, tetap saja disebut pernah patah. Bagaimanapun, kesakitan itu tak akan pernah bisa di lupakan. Begitupun, kesalahan. Manusia normal, pasti akan merasakan saat mereka tersiksa akan kesalahannya sendiri, dan pasti mereka pernah setidaknya tertekan akan pikiran menyalahkan diri sendiri. Seharusnya seperti itu, kan? Tapi bagaimana jika manusia itu sama sekali tidak pernah merasakan semua itu dalam membuat kesalahan? Layakkah dia disebut manusia?

Tentu, dia tetap manusia. Yang membedakan manusia satu dengan manusia lain, pertama pola pikir, lalu sifat dan sikapnya. Dalam hubungan tidak akan pernah ada salah satu yang sempurna, mungkin itu yang dimaksudkan tujuan dari saling mengerti dan melengkapi. Sering bertanya, lalu bagaimana dengan hubungan yang benar-benar tak pernah ada masalah. Apakah pasangan itu benar saling cinta?

############################

"Makanya jangan poligami kalau gak kuat" omelan Maya masih setia menemani Nadine.

Betapa rasanya ingin memukulkan kepalanya ke sebuah batu besar, dan mati. Sayangnya Nadine takut mati.

"Sanalah, pilih satu. Atau tidak keduanya. Jangan giniin anak orang, di gantung itu sakit. Sama halnya dengan lo nyayatin mereka make pisau bedah di sekujur tubuh. Itu sakit banget Nad"
"Lo bisa gak? kasih masukan, bukan kasih tekanan suruh milih mulu. Lo pikir milihnya gampang?"
"Gampang, segampang lo nyakitin mereka"
"Mulutnya itu, pedes amat May"
"Lo tu bahkan gak pantas direbutin. Harusnya mereka buka mata, banyak manusia yang pantas dapetin mereka"
"Lhhhah?! Gue ini manusia"
"Manusia apanya, lo itu cuma benalu. Gak sadar? Kalau emang lo manusia, ya bersikaplah sewajar dan seharusnya sebagai manusia. Seperti manusia lain"
"Kok gue tersinggung. Terus lo sebut apa mereka yang kelakuannya jauh lebih buruk dari gue?"
"Manusia. Tetap saja kenyataannya mereka manusia, emang bisa berubah? Mereka disebut manusia juga di kehidupannya. Tapi, semua kesalahan dan kelakuan buruknya tidak disebut sebagai manusia. Dan lo harus tau, mereka itu bahkan lebih buruk daripada sampah di jalanan. Lo mau jadi seperti itu? Silahkan. Mau apapun alesannya, lo gak berhak ngancurin hidup manusia lainnya Nad. Udah cukuplah, sakit itu wajar ditakutin dan sakit itu bisa di hadapin"
"Kenyataannya, sakit itu menyiksa May. Dan ketakutan itu ngebuat pendirian gue goyah. Gue gak pernah mau sengaja nyakitin mereka, gue gak mau nyakitin mereka"
"Lo bukan gak mau nyakitin, Nad. Lo yang memang pengecut, dan lo yang memang takut sendirian, kan? Tega ya lo, cuma karena lo takut sendiri, lo jadi brengsek gini"
"Gue emang brengsek May. Gue takut mereka semua pergi. Gua gak bisa sendiri, gue takut sendiri" Nadine memeluk lututnya. Maya beranjak, mendekat. Ikut memeluk lututnya sendiri.
"Sendiri memang menakutkan Nad. Tapi jadi sampah lebih menakutkan. Aku mau, kamu jadi manusia lagi. Semua yang kamu takutin, belum tentu bakal terjadi. Bisa biasa aja, bisa juga lebih parah dari yang kamu bayangin. Kalau kamu kalah dari rasa takut karena sendirian, sampai kapanpun kamu bakal gini. Kamu harus tumbuh, kamu harus jadi wanita dewasa. Kamu gak perlu jadi sempurna, cukup kamu jadi manusia yang tidak merugikan manusia lainnya saja. Siapa pun yang kamu akan pilih, itu keputusanmu. Aku dukung kamu, aku ada di belakangmu. Aku ada, Vero ada buat kamu. Kita keluarga. Jadi jangan takut, ambil keputusan. Dan kembalilah menjadi Nadine yang hangat dan menarik"

Nadine memijit pelipisnya, lalu beranjak pergi meninggalkan rumah mungil itu. Maya menghembuskan napas kesakitan setelah Nadine keluar dan menutup pintu. Melihat orang yang menjadi mataharinya seperti itu, tentu saja membuatnya ikut terpuruk. Masalahnya, jika ia pun terpuruk, akan jadi apa hidup mereka? Maya menahannya sendiri, memikirkan Vero dan Nadine membutuhkan sosok manusia dewasa yang bisa mendengarkan dan memberikan masukan saat mereka berkeluh kesah. Melepas, merelakan, mengerti, dan tentu menahan sakit, itu semua sudah pernah berkali-kali ia alami.

Nadine sampai di rumahnya, dengan sambutan pemandangan indahnya sore. Taman kecilnya terlihat bersih, bunga-bunga segar oleh siraman air, dan sepatu tertata rapi. Benar-benar terawat, ia memasuki rumah, kejutan lain datang dari dapur. Aroma masakan membuat perutnya tiba-tiba lapar. Nadine bergegas menuju dapur. Sambutan hangat di dapatinya dari wanita anggun yang sudah duduk menunggunya, tersenyum manis ke arahnya.

"Hai, apa kau merindukanku?"

Nadine malah tertawa, lalu duduk di samping wanita itu.

"Apa kau merindukanku, sayang?" Ulang wanita itu.

Nadine menggangguk gemas, kembali tawanya pecah.

"Pas kan waktunya, kamu pulang semua sudah siap. Semua sudah rapi, pacarmu kamu ini juga capek tau, 2 minggu keluar kota pulang-pulang rumah kamu berantakan, kotor"
"Hehehe. Aku sibuk Helena. Maaf ya bikin kamu beres-beres. Udah boleh dimakan kan?"
"Aku suapin aja. Kamu duduk yang manis"

####################################

"Kamu berapa hari di rumah?"
"Emm, maunya berapa hari?"
"Pindah sini aja, tinggal bareng aku aja. Yaa yaa?"
"Baru juga beberapa minggu Nad kita gak ketemu. Kamu juga bosenan kalau bareng aku terus. Gayanya nyuruh orang pindah sini, mending aku ke apartemen apa ke rumah papi"
"Enggak. Kan biar deket, kamu juga bisa nemenin aku terus hehe. Gak bolak balik terus, kamu mah apaan. Apa-apa negatif mulu"
"Punya anak yuk Nad"

"...................... apa? Anak?" Nadine menghentikan kegiatan mengetiknya.

Helena memeluknya dari belakang, menciumi pipi, kuping, dan lehernya. Nadine cekikikan di perlakukan romantis seperti itu.

"Kamu mau adopsi?"
"Maunya anak aku sendiri Nad. Kalau aku hamil gimana?"
"Apa?! Ulangi!"

Helena tertawa, terpingkal-pingkal. Nadine berdiri, menariknya duduk di tepi ranjang.

"Siapa yang hamilin kamu?"
"Gak sayang. Aku gak hamil, aku tadi cuma nanya. Mana ada aku selingkuh dari kamu. Yang bener aja, emangnya kamu"
"Bikin orang jantungan aja. Kamu mau nunggu aku sebentar lagi?"
"Sebentarnya lama gak? Kamu kan gak pernah jelas. Kalau kamu cuma maen-maen terus sama aku, aku bisa kapan aja pergi"
"Aku tau maaf gak bakalan bikin kita benar-benar baik-baik saja. Setidaknya, berikan waktu sebentar lagi, ya?"
"Jangan memaksakan diri kalau belum bisa mutusin. Tapi, aku minta sama kamu Nad, jangan bikin kami jadi maenanmu, yang dengan sadar kamu rusakin pelan-pelan"

Helena mencium bibir Nadine setelah menyelesaikan kalimatnya. Mereka berciuman cukup lama, saling menyalurkan rasa rindu. Dan dengan sadar, Helena juga merasakan kesakitan akan rasa bersalahnya. Dia sadar, dia pun berbuat salah kepada Nadine dan Yuna.

"Maaf karena membuat kita bertiga di posisi seperti ini" ucap Helena sesenggukan di pelukan Nadine.

LOVE, NADINE and HELENA (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang