Duapuluh enam. Meet up

1.5K 70 7
                                    

Sorry for typo(s). In fact, i'm human too :"

Nabila sekarang ada di sini. Tempat dimana ibunya dirawat. Ia hanya sekedar berkunjung, tanpa Kean tentunya.

Ia menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah pelan. Mungkin setelah ini, ia akan pergi ke pemakaman, mengunjungi Dita.

Walaupun tidak terlalu dekat, entah kenapa ia merasa bersalah tanpa alasan. Nabila pun tak tahu.

"Hay ma" Vania membalas senyum anaknya saat Nabila masuk.

Ia meletakkan rantang yang ia bawa. Nabila membawa makanan kesukaan ibunya.

"Gimana keadaan mama? Baik?" Vania menganggukkan kepalanya sembari berjalan ke arah Nabila.

"Oh iya, bila bawain mama opor ayam sama tempe orek. Kesukaan mama kan?" Nabila mulai membuka rantang itu dan meletakkannya di lantai.

"Ayo ma kita duduk. Mau Nabila suapin?" Vania menggeleng dan mengambil sendok di tangan Nabila.

"Mama mau suapin kamu" Nabila merasa sedih. Ia hanya bisa tersenyum dan menahan tangisnya.

Acara makan kedua ibu dan anak itu tidak berlangsung lama. Di ambang pintu sekarang, ada seorang pria tua yang melihat mereka berdua dengan tatapan tajam.

"Masih berani kamu menemui anakku?" Nabila dan Vania menoleh ke asal suara. Mata Nabila melotot kaget.

"Papa?" Vania bangkit dan memeluk pria tua tersebut. "Baru dateng pa? Ayo sini sama aku sama Nabila. Cucu papa udah pinter masak"

"Papa nggak sudi ngeliat anak Surya di sini" Raut wajah Nabila berubah sedih.

Ia tak habis pikir, segitu bencinyakah kakeknya terhadap dia? Padahal yang bersalah adalah ayahnya.

Memang, setelah ibunya masuk rumah sakit jiwa lalu disusul dengan kepergian Kean, Nabila menjadi satu-satunya orang yang disalahkan oleh sang kakek selain sang ayah.

Bahkan sampai sekarang, kakeknya belum tau jika Kean kembali.

"Kakek"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" Nabila terkejut karena bentakan sang kakek.

Vania tau keadaan memburuk. Ia lalu beranjak menuju Nabila dan memeluknya. "Lepaskan pelukanmu dari anak pembawa sial itu Vania!"

Vania menggeleng kuat. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

Nabila sendiri hanya memandang kosong sang kakek. Ia sudah terlalu muak untuk sekedar membantah.

"Vania, ini perintah. Lepaskan pelukanmu!" Vania malahan memeluk anaknya lebih erat.

Sudah cukup ia jauh dari cintanya. Sekarang, ia tak mau jauh lagi dari sumber kehidupannya.

"Ma, lepas" Dengan sekuat tenaga, Nabila melepas pelukan sang ibu dan membereskan makanan yang dibawanya.

"Jangan pergi sayang. Mama masih kangen kamu" Vania tidak bisa lagi membendung air matanya.

Ia tidak mau melepaskan genggaman pada tangan sang anak. Namun, Nabila tetap pergi dan tidak memerdulikan tangisan sang ibu.

"Maafin Nabila ma"

···

Kean berjalan santai menyelusuri lorong di kantornya itu. Mungkin tampilannya tetap tenang, tapi jantungnya tak bisa mengontrol degupannya.

Netranya sudah menangkap ruang rapat yang akan dimasukinya. Degupan jantungnya pun semakin cepat.

Ini mungkin hanya rapat biasa, namun pertemuan dengan seseorang sedikit membuatnya cemas.

[FINISHED]Kapten Basket vs Vlogger CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang