Delapan. Mom?

3.2K 171 13
                                    

Tiga hari berlalu sejak kejadian itu. Kehidupan Nabila kembali seperti biasanya dan juga sang papa tidak lagi kembali kerumahnya. Ia sedikit bersyukur akan hal itu, namun ia juga tak lupa bahwa malam ini ia akan pergi bersama keluarga kecilnya.

Hari ini masih pagi, sekitar jam tujuh Nabila sudah berada di depan gedung besar yang berwarna putih ini. Tenang saja, hari ini hari libur, jadi ia bisa leluasa untuk pergi kemanapun.

Kalian bertanya bukan dimana Nabila sekarang? Ia sedang menyusuri lorong gedung yang dipenuhi orang sakit itu. Tapi, mereka sedikit lebih spesial dari orang sakit biasanya. Mereka tidak sakit fisik, namun mental.

Yap, Rumah Sakit Jiwa

Nabila tersenyum ramah sembari menyapa pasien maupun membalas sapaan perawat. Semua perawat dan pasien mungkin mengenal Nabila karena ya... ia sering kesini.

Nabila masuk kesebuah ruangan, ia tidak perlu mengetuk pintu karena pintu itu sudah terbuka dan mendapati seorang perawat yang sangat Nabila kenal. Perawat yang dengan setia merawat ibunya selama 3 tahun belakangan.

"Oh bil, tumben baru dateng, biasanya seminggu bisa 2-3 kali kesini" ucap perawat itu sambil tersenyum manis

"Lagi sibuk sama sekolah, sus. Suster Riana lagi meriksa mama? Gimana keadaan mama ada perkembangan?" Nabila terlihat antusias menanyakan kabar sang mama

"Belum ada perkembangan bil. Kamu yang sabar ya" Suster Riana menepuk pelan pundak Nabila dan izin untuk pergi. Raut Nabila menjadi lesu, tapi ia tetap mempertahankan senyumnya.

Ia berbalik dan menatap sang mama yang sedang duduk di kursi roda sambil menghadap jendela. Ia tau, itu adalah kebiasaan sang mama ketika sendiri.

Nabila melangkah mendekati sang mama, ia menghapus air mata yang sedari tadi turun membasahi pipinya.

"Ma" wanita paruh baya itu tersenyum simpul ketika merasakan pelukan hangat dari sang anak di lehernya. Walaupun jiwanya terganggu, rasa sayangnya terhadap sang anak tetap ada.

Nabila berusaha tegar untuk tidak menangis sekarang. Ia membalikkan tubuh mamanya dan membenamkan wajah nya dipangkuan sang ibu.

Bahunya bergetar pertanda ia menangis. Nyonya Pradiwijaya oh apakah ia masih bisa mendapatkan gelar nyonya Pradiwijaya sekarang? Panggil saja ia Nyonya Vania. Ia hanya bisa mengelus punggung putrinya itu. Ia tidak tau apa yang terjadi, senyum tulus tak terlepas dari wajahnya.

"Putri kecil mama kenapa? Apakah ada yang menganggumu? Jika kau menangis terus, cantiknya hilang loh. Nah sekarang udah yuk nangisnya" nyonya Vania mengangkat wajah anaknya dan menghapus jejak air mata di pipi anaknya itu.

"Tak apa ma. Bila cuma kangen aja sama mama. Kapan mama pulang? Tinggal sama Nabila lagi? Nabila kesepian ma" suara Nabila memelan di akhir kalimatnya. Ia melihat perubahan mimik wajah ibunya menjadi bersedih. Rasa bersalah menyeruak di hati Nabila, ia merasa bersalah karena membuat ibunya bersedih.

"Ma, mama enggak usah sedih, sekarang mama sembuh aja dulu, Nabila bisa kok nunggu sebentar lagi" Nabila memasang senyum palsunya dan berharap ibunya tidak lagi sedih "Kalau mama senyum dan selalu bahagia, Nabila juga pasti bahagia kok"

Sang ibu hanya bisa tersenyum bahagia melihat putrinya yang sudah beranjak dewasa. Walaupun mentalnya sedikit terganggu, tapi ia sangat mengerti tentang perasaan orang-orang sekelilingnya. Ia merentangkan tangannya pertanda ia ingin putrinya itu memeluknya.

Saat ini Nabila dan ibunya sedang berada di taman rumah sakit. Mereka bercanda tawa dan bercerita selayaknya ibu dan anak. Nabila tak pernah menyia-nyiakan waktunya bersama ibunya. Ia selalu merasa bahagia ketika bersama sang mama.

[FINISHED]Kapten Basket vs Vlogger CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang