Enam. Start!

3.3K 166 19
                                    

"Nabila"

Suara itu menginstrupsi pergerakan Nabila pagi ini. Suara berat yang sangat jarang memanggilnya, oh bahkan sangat jarang terdengar di rumah ini. Siapa lagi kalau bukan suara sang papa.

Nabila sedikit terkejut mendapati lelaki itu di rumahnya. Dia bertanya dalam hati, apa yang membuat dia berada di sini.

"Kenapa? Apakah ada yang bisa saya bantu Tuan Pradiwijaya?"

Sang papa hanya menatap geram pada putri satu-satunya itu. Ia bingung harus dengan apa lagi supaya anak nya itu menjadi sedikit lebih baik kepadanya.

"Jangan memancing amarah papa Bil"

Nabila jengah. Ia langsung menyambar roti yang sudah disiapkan dan melewati Tuan Pradiwijaya. Ia tidak ingin berlama-lama disana dan dengan percuma mengeluarkan air mata untuk orang yang sedang bersamanya ini.

"Kembali kesini Nabila! Jangan terus memancing emosi saya!"

Nabila terus berjalan tanpa memerdulikan Tuan Pradiwijaya yang sudah tersulut emosi. Nabila hanya cuek dan memerhatikan ponselnya yang tiba-tiba lengannya ditarik dan membuatnya jatuh.

"SUDAH SAYA KATAKAN, JANGAN MEMANCING EMOSI SAYA, NABILA!"

Nabila menatap sosok papa didepannya dengan tatapan sengit. Ia masih sangat mengingat apa alasannya membenci sosok papanya. Ia masih menahan air matanya, ia tidak akan membuang percuma air matanya untuk orang didepannya ini.

"Ada apa? Apakah saya membuat kesalahan? Apakah saya membuat anda malu? Dan juga kenapa anda datang lagi kemari?"

Nabila berdiri dengan semua perasaan sesak yang timbul dihatinya. Seakan lupa dengan tata krama dan semua sopan santun yang telah diajarkan, Nabila berani melihat kedalam manik tajam sang papa.

Tidak ada lagi sorotan mata hangat dan berteman di mata itu. Hanya ada pancaran kebencian dan amarah yang tercetak dimanik Nabila. Ia mengangkat telunjuknya dan mengarahkan ke arah sang papa.

"Kau..."

Plakk...

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan sudah melayang di pipi kanannya yang menyebabkan ia terjatuh ke lantai.

Air mata yang sedari ditahannya akhirnya melesak keluar karena rasa sesak yang sudah tidak dapat lagi dibendung. Air mata itu sudah berlomba-lomba untuk keluar dari pelupuk matanya.

Ini sudah biasa. Bahkan jika ia tidak ditampar, mungkin Nabila akan heran karena setiap pertemuan mereka akan diakhiri dengan tamparan. Tapi, ia terus berharap untuk keluarganya kembali bersatu seperti dulu. Ya, berharap dan berharap.

"Sekarang apa?"

Tuan Pradiwijaya menghiraukan keadaan putrinya yang sedang menangis sesenggukkan di depannya. Rasa sayang itu sudah lama hilang dari hati seorang Pradiwijaya.

"Saya hanya mau kamu ikut dengan saya dan istri saya ke makan malam perusahaan tiga hari lagi. Saya tidak mau tau kamu harus ikut"

"Saya tidak mau terima kasih"

Nabila beranjak sembari menghapus jejak air mata di pipinya. Namun, baru beberapa langkah rambutnya sudah ditarik paksa dan menyebabkan ia mundur kebelakang. Air mata keluar tanpa ada aba-aba darinya.

"Tidak ada penolakan. Jika tidak, ibumu akan jadi korbannya"

Deg

Mata Nabila melebar mendengar apa yang barusan papanya katakan. Jantungnya seakan terpacu dua kali lebih cepat dari biasanya dan seakan meledak saat itu juga. Ia tidak ingin terjadi apa pun terhadap ibunya

[FINISHED]Kapten Basket vs Vlogger CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang