3. Dr. Winda

3.6K 617 128
                                    

Present :

Marcel Lay

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Marcel Lay



________

Winda memijat pelipisnya, dia menunggu hampir lima belas menit di depan kamar Calvin sembari menatap jam tangannya. Nyatanya, sudah pukul delapan pagi. Astaga, Winda butuh istirahat sebenarnya. Namun, ia merasa memiliki tanggung jawab penuh dengan pasien di dalam kamar ini. Ya, benar saja. Kan Winda yang menjahit luka-luka Calvin semalam. Apalagi, Winda juga hampir tidak mengedipkan mata saat menjahit luka-luka kecil itu dengan hati-hati, dan sangat rapi.

"Win, lo masih mau nunggu?" tanya Tian yang sudah merasa bosan menunggu di depan pintu ruang rawat Calvin.

"Ya harus, lah. Mau nggak mau! Dia pasien gue!" kata Winda dengan suara malas-malasan. Karena sebenarnya dia juga mau pulang dan membersihkan diri, kemudian menyentuh ranjang empuknya yang sudah ia rindukan sejak semalam.

"Tapi gue udah capek! Gue balik duluan deh ya." Tian menaikkan alisnya beberapa kali pada Winda.

"Gitu deh! Bodo ah! Ya udah kalau mau pulang duluan! Syuhh!" Winda mengusir Tian untuk segera pergi dengan wajahnya yang dimuramkan.

Tian mendesah kecil. "Ya udah, gue tunggu! Tapi gue nunggu di kantin, ya. Mau nyari sarapan bentar."

Winda tersenyum senang lalu mengangguk. "Tian..."

"Iya?"

"Mau vanilla late."

"Oke." Tian tersenyum lalu berlalu dari hadapan Winda.

Setelah Winda agak yakin, bahwa pasien di dalam sana tidak lagi berteriak dan melempari barang, Winda memutuskan masuk kembali ke sana. Dan Winda bernapas lega setelah pikirannya benar adanya. Nyatanya Calvin saat ini sedang bersandar di ranjangnya dengan tatapan kosong ke depan. Well, Winda harus ingat jika memang Calvin buta. Sebab itu, pria tampan tersebut pasti hanya akan bisa memandang tepat pada satu arah.

Winda pun menatap ibu dan adiknya yang hanya bisa memasang wajah sedih mereka. Winda pun tahu perasaan keluarga Calvin yang pasti sangat terpukul menerima semua ini. Namun ya bagaimana lagi?

"Gimana?" tanya Winda pada Calvin. "Kamu..."

"Dokter bisa keluar dari sini?!" bentak Calvin tiba-tiba.

Winda memandang pria itu sembari melipat tangannya di dada. Jujur, mungkin Winda tidak pernah merasakan kebutaan secara langsung. Namun, ia tahu apa yang pria itu lihat. Ya, hanya kegelapan. Dan Winda tentu tahu bahwa hanya melihat gelap itu sangat menyebalkan. Winda tahu bahwa gelap itu menakutkan. Namun, bukan berarti kebutaan adalah akhir hidup. Bukankah masih ada banyak orang yang bisa menolong? Beda lagi jika Calvin hidup sebatang kara.

"Calvin, jangan gitu, sayang." Mama menenangkan, namun Calvin menepis tangan mamanya. Ia menoleh ke sebelah kanan, padahal Winda ada di sebelah kiri.

• Angel From Heaven | Wenyeol ✔Where stories live. Discover now