Kawah Matahari

2.6K 223 8
                                    

Liburan tahun lalu ayah mengajakku pergi ke tempat wisata yang cukup unik, biasanya kami pergi ke pemandian air panas ketika awal musim dingin namun ayah membawa kami ke pemandian pasir panas di musim gugur. Tempat aneh yang tiba-tiba muncul di tengah kota Tokyo, aku bahkan tidak menyangka sesuatu seperti itu ada. Tapi sebagai penumpang aku hanya mengikuti jalannya perjalanan itu.

Kata ayah pasir itu dididihkan terlebih dahulu, dipanaskan mencapai suhu yang sesuai untuk tubuh. Katanya juga pasir panas itu bisa menyegarkan dan menyehatkan tubuh, cocok untuk orang yang tidak memiliki banyak waktu untuk beristirahat. Saat itu juga ku pikir di balik alasan jalan-jalan keluarga ini ada rencana lain yang khusus di inginkan ayah ku untuk liburan melepas penat bekerjanya. Tapi sekali lagi tidak masalah untukku.

Pertama kali mencoba mandi pasir hangat—berendam di sana—rasanya seperti memakan selimut tebal ketika musim panas menyengat. Aku langsung dibanjiri keringat, untung saja pasir halus itu tidak lengket di tubuh walau tetap harus membilas tubuh dengan air setelahnya. Sensasinya memang menyegarkan, nyaman, terlepas dari suhu panasnya.

Sekarang aku merasakannya lagi, kali ini gratis dan seluruh tubuhku yang ditutupi timbunan pasir. Beruntung refleks ku cukup cepat untuk menciptakan permukaan es mengelilingi ku dari pasir untuk cela bernafas, walau rasanya tetap pengap dan dinding es itu perlahan mencair dan sama sekali tidak mengeluarkan aroma sejuk. Egi masih di sampingku, memelukku dengan erat, dia berusaha menutupi wajah ku agar pasir tidak maksud ke mata dan hidung. Aku cukup kaget dengan kesigapannya menyelamatkan ku alih-alih dirinya sendiri. Kami berdua tetap selamat, berkat diri ku.

Itu awalnya, tapi kami tetap terjebak di tengah-tengah gundukan pasir. Beruntung Egi yang dapat merasakan panas sekitar mendeteksi adanya gua di dinding batu, bersungut perlahan kami menembus pasir. Dinding es tetap mengelilingi kami—walau berkali-kali aku harus menebalkannya—menuju titik cela yang dituju, pasir itu masih halus dan mudah disingkirkan, sehingga kami dapat bergerak dengan mudah di dalamnya.

Singkat cerita. Setelah perjuangan yang melelahkan, kami berhasil memasuki cela di dinding yang tidak ikut tertimbun pasir, tidak, sebenarnya setengah dari gua itu sudah tertutup pasir, tapi masih ada cela yang cukup untuk kami memasukinya. gua itu ternyata buntu, memang ada bagian menjorok ke bawah yang agak curam, Egi sudah memeriksanya namun di ujung sana adalah dinding tanah yang tebal. Jika kami berusaha membuatnya hanya akan ada tumpukan tanah lain dan mungkin tanah diatas kami akan amblas.

"kita tidak akan terkubur hidup-hidup di sini, aku janji!" seru Egi mencoba menenangkan ku, menggenggam tangan ku erat. Tapi aku tidak panik sama sekali, dialah yang panik.

Tapi aku menerima kebaikan hatinya, merosot di pinggir dinding gua yang hangat. "bagaimana kita akan keluar?"

Pemuda itu tidak bisa berdiri tegak, dia membungkuk hampir Sembilan puluh derajat. Gua ini tidaklah luas maupun tinggi. Egi menoleh ke kanan dan kiri beberapa kali, wajahnya kotor oleh pasir dan debu.

Dia menepis rambut yang menusuk matanya, berjalan pelan kembali ke ujung gua yang menjorok ke bawah. kembali ke tempat semula dan memeriksa pintu gua yang sudah ditutupi pasir. Melihatnya terus mondar-mandir, memukul dinding perlahan, memeriksa langit-langit gua yang rendah. Walau dia berusaha mencari jalan keluar, dia mungkin akan segera gila karena tidak ada cela untuk keluar dari sini. Aku tahu itu.

Karena itu ketika dia melewati ku untuk yang sekian kalinya, kutarik celananya hingga dia terduduk dengan menabrak kaki ku. bahkan untuk duduk berhadapan pun tidak mungkin, hanya menyisakan sedikit cela, aku juga tidak bisa meluruskan kaki ku. Egi akhirnya menarik dirinya duduk di sisi lain di samping kaki ku, memeluk lututnya, wajahnya mengernyit masih memperhatikan sekeliling.

"kita akan baik-baik saja! aku janji." Seru Egi pelan, menatapku dengan wajah berkerut. dia menendang dinding di samping ku agak keras. "ternyata benar! Kita tidak seharusnya mendekati gunung, jika saja David tidak bersikeras—"

WIZARD (Broken Butterfly) ENDWhere stories live. Discover now