Wizard Academy

4.9K 369 19
                                    

Tidak pernah terlintas di benak ku berkeinginan untuk menempuh pendidikan di luar negeri, bahkan ketika ayah menawarkan untuk menyekolahkan ku di salah satu sekolah yang ada di Italia dengan alasan tempat pendidikan keluarga turun-temurun kutolak mentah-mentah. Tapi disinilah aku sekarang, Bandar internasional Washington Dulles. pergi seorang diri dengan pilihan terburuk yang pernah ku buat. awalnya Sora sempat bersikeras untuk ikut mengantar sampai tujuan, dia jauh lebih khawatir daripada orangtua ku sendiri, sampai sekarang aku masih bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya tentang diri ku?

Sebenarnya aku tidak benar-benar pergi sendirian, seperti janji sebelumnya. Bersama Ryoko dan Al, kami sudah berencana menggunakan penerbangan yang sama dan pergi bersama. Diantara lautan manusia ini ku temukan Al dan Ryoko yang sempat menghilang saat aku sibuk mengamati sekitar, lagipula ini adalah kali pertama aku pergi keluar negeri tanpa didampingi orang dewasa dan ternyata aku benar-benar tidak menyukai keramaian dan suasana baru.

Al masih dilema dengan kekuatannya dan Ryoko sejak kami berangkat setia di sisi gadis peranakan Eropa itu untuk menenangkannya. Jangan tanya apa yang ku lakukan sepanjang penerbangan, hanya tidur, dan memastikan aku tiba di darat dengan selamat.

Sekolah itu benar-benar sangat-sangat-sangat jauh dari perkotaan. Kami nyaris tersesat di jalanan dan Al yang tak diragukan bahasa inggrisnya dengan leluasa bertanya. Akhirnya kami dapat menemukan jalan yang benar. Cukup dikejutkan oleh jalan yang harus kami tempuh, jalanan beraspal digantikan dengan jalan setapak tanah yang keras—aku ragu ketika hujan jalanan ini akan menjadi becek dan licin—bus umum yang kami tumpangi terpaksa harus berhenti di tepi jalan besar, kami mulai berjalan kaki untuk memasuki hutan hingga sampai di gerbang besar membelah jalan utama dengan pagar-pagar besi tinggi yang menembus hutan, di puncak gapura dari batu hitamnya bertuliskan Wizard Academy dalam ukiran yang tebal.

Untungnya juga tidak hanya kami yang terpaksa harus berjalan kaki menyusuri hutan, ada anak-anak muda lain yang berjalan ke arah yang sama. mereka melirik satu sama lain dengan ketertarikan yang besar, ku tebak mereka bertanya-tanya siapa dan kekuatan macam apa yang dimiliki orang-orang disekitar mereka.

Jalan panjang itu berakhir di sebuah lapangan berumput luas dengan sebuah bangunan megah bergaya Victoria abad pertengahan dengan nuansa suram yang kental, aku tidak melebih-lebihkan jika harus menyebutnya lebih mirip sarang hantu dari pada sebuah sekolah. Terlintas di kepalaku kalau tempat ini lebih cocok dijadikan tempat syuting film horor.

Halaman luas yang dihiasi rumput yang dikikis, semak-semak berbentuk, kolam dan air mancur, tak luput pohon-pohon raksasa yang tampaknya sudah tumbuh di sana selama ratusan tahun menghiasi kesuraman taman akademi. Nuansa warna-warna bunga tak serta merta menghilangkan kegelapan yang terasa sangat jelas, tapi setidaknya ada bunga yang menghiasi pemakamanan ini.

Kursi-kursi taman dan gazebo terlihat di beberapa sudut di sekitar bangunan raksasa itu, sebagian anak-anak yang lain sudah menunggunya. Tidak ada kendaraan yang memasuki daerah akademi, kurasa pihak akademi dengan sengaja menaruh peraturan agar para siswa tidak diantar jemput hingga memasuki pekarangan akademi. Mereka sepertinya menyimpan privasi dengan sangat baik.

Kami memutuskan untuk duduk di bawah pohon cemara, ukurannya jauh lebih besar dari pada yang ada di rumah ku dan tekstur tanahnya agak aneh karena di luar jalan setapak dan daerah yang dilapisi batu-batu alam dan semen sisanya merupakan hamparan rumput yang lembut. Koper dan tas kami berjajar di ujung kaki, tidak menghalangi pejalan kaki lain. ditengah bisik-bisik para siswa baru itu dua orang gadis muncul mendekati kami, salah satunya mendapati ku melihat mereka, gadis itu menggumamkan sesuatu kepada temannya.

Saat mereka berjalan menghampiri ku, ku sadari kalau wajah putih dan mata sipit itu adalah wajah-wajah asia.

"Selamat sore." Sapa gadis berambut coklat dengan iris yang lebih terang dari warna rambutnya. Dia memiliki lesung di pipi ketika tersenyum. "Namaku Rim Melly, panggil Melly saja dan disebelah ku," belum sempat gadis tadi—Melly—melanjutkan perkataannya, gadis lain di sampingnya yang berambut coklat tua dan mata hitam melesat melewatinya dan mencondongkan tubuh dengan keriangan yang aneh.

WIZARD (Broken Butterfly) ENDWhere stories live. Discover now