[LAST] tujuh

Mulai dari awal
                                    

Dahi Karin berkerut, bingung dengan maksud kertas tersebut. "Siapa Henry?"

Vita mengangkat bahunya seraya menggeleng kecil, "Itu yang gue enggak ngerti. Tapi dari keterangan di kertas itu, gue yakin kalo Kak Arka sebenarnya berada di Jerman untuk melalukan pengobatan dan menurut gue Kak Arka mengalami masalah di bagian kakinya setelah insiden dulu."

Sesuatu terlintas di pikiran Karin begitu mendengar penuturan dari Vita. Jerman. Dia mengingat percakapannya dengan Zoe tempo hari. Jelas Zoe mengatakan jika ia sedang ada urusan di Jerman. Dan kini, Karin mendapat titik terang dari semua kebohongan selama ini.

"Jika benar ini Kak Arka, mengapa ia harus mengganti namanya? Apakah sebegitu inginnya dia dianggap mati di dunia ini?" Karin memegsng kepalanya yang terasa sakit. "Apa dia sebegitu tidak inginnya melihatku lagi?"

"Tidak Karin. Gue pikir sebelumnya, mungkin Kak Arka nggak ingin lo lihat dia kesusahan, Dari keterangan itu kita bisa tahu kalo luka yang dia dapatkan dari peristiwa itu tentunya bukan luka biasa." Vita mengatatakan pendapatnya, "Apa kita enggak perlu lihat kebenarannya secara langsung, Rin?"

Karin terdiam, masih memegang kepalanya yang terasa pusing. Memikirkan semua kemungkinan yang ada membuat Karin marah dan senang secara bersamaan. Marah akan alasan Arka menyembunyikan semua ini dan senang karena Arka nyatanya masih hidup. Karin menatap Vita sekilas, kemudian bangkit dari duduknya.

"Kalo bener dia nggak mau gue melihat kesusahan, penderitaan, kelemahan, dan rasa sakitnya, buat apa gue terus menunggu dia? Sikapnya yang seperti yang malah membuatku terluka. Dan dia sudah membuatku benar-benar terluka, jadi kita hanya perlu lihat, seberapa lama ia akan bersembunyi, berpura-pura seakan ia memang sudah mati." Karin menghela napas, amarah masih menguasainya, "lalu untuk apa selama ini aku menunggu, Kak? Apa gunanya pernikahan ini semua? Apa sebenarnya aku ini Kak? Seorang istri atau hanya orang asing di hidupmu, Kak?" ucap Karin bersamaan jatuhnya air mata dari pelupuk matanya dan tubuhnya luruh di lantai.

"Aku benci..." jerit Karin tertahan. Sangat sesak, hingga terlalu sulit untuk berkata-kata lagi. Semuanya tertelan tangisan dan kepedihan.

Air mata kembali berjatuhan dari pelupuk mata Vita, tidak tahan melihat sahabatnya menanggung penderitaan yang selama ini hanya dipendamnya sendiri. Berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja, namun nyatanya ribuan luka masih terbuka tanpa ada satupun yang tertutup dengan kebahagiaan, hanya ada kesedihan.

Vita memeluk sahabatnya itu erat, menangis bersama seakan berbagi kesedihan, "Rin, kita samperin Kak Arka kesana ya? Jangan nangis lagi, jangan. Gue mohon Rin, jangan nyiksa diri lo lagi. Cukup yang selama ini lo rasakan, sekarang lo udah tahu kebenarannya. Kita kesana, ya," ucap Vita dengan suara bergetar sembari mengusap punggung lemah Kari.

"Enggak Vit, gue nggak mau. Gue bakal kaya gini sampai dia benar-benar kembali sendiri. Kaya yang lo bilang, kalau gue lihat dia terluka dia akan semakin menderita, jadi," Karin berhenti sejenak, mengatur napasnya yang tidak teratur lagi, "Jadi, lebih baik gue yang menderita di sini. Menunggu dalam kepedihan, biarkan gue yang terluka, biarkan dia seperti setahun terakhir ini, gue nggak tau apa yang dia rasakan. Tapi intinya, tanpa kehadiran gue, dia baik-baik saja di sana."

"Karin, kita ke sana aja ya, gue nggak tega ngelihat lo menderita. Enggak Rin, jangan berpikiran bodoh."

Karin terus menggeleng, tanda dia sudah dalam pendiriannya, tidak akan menemui Arka hingga dia sendiri yang kembali, entah kapan, yang jelas waktu akan mengungkap semuanya.

"Vit, gue butuh waktu sendiri. Tinggalin gue, please. Mulai besok dan seterusnya, anggap yang kita ketahui hari ini tidak pernah ada seperti hari-hari sebelumnya." Karin menatap Vita penuh permohonan.

Lovely HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang