37. Mencoba Tersenyum

96 2 0
                                    

Yudha sedang menjadi tukang kebun ketika Ara dan Dikdik bertamu ke rumahnya. Menggunting dedaunan, menyirami tanaman dan menyapu daun-daun kering yang berserakan karena angin sore yang berhembus kencang.

"Wah Dik, Yudha punya tukang kebun baru. Cakep juga ya," Ara bersekongkol dengan Dikdik untuk mengerjai Yudha. Kapan lagi mereka bisa ngejahilin eksekutif muda yang beralih profesi jadi tukang kebun di rumahnya sendiri.

"Yoi... Cakepnya ngalahin Yudha Ra. Pantes aja Sakura mau sama tukang kebunnya Yudha. Guanteng pisan euy," Dikdik berusaha menahan tawa ketika Yudha menatap tajam ke arahnya.

"Kerjaannya juga bagus, bersih semuanya. Eh bang, nanti kalau udah beres disini, ke rumah saya ya bang. Taman di rumah saya udah butuh tukang kebun handal kayak abang," seru Ara santai.

"Sekalian ke tempat kost saya ya bang. Nanti gajinya minta ke bos abang aja," tawa Dikdik yang ditahan pun jebol menembus batas kejahilannya. Dia pun tos dengan Ara.

"Sialan loe berdua. Puas!!," Yudha mendekati Ara dan Dikdik yang masih mentertawakannya. Yudha terdiam, menunggu tawa keduanya mereda dan hilang. "Bisma mana?," tanya Yudha akhirnya karena tawa Ara dan Dikdik sepertinya akan bertahan lama. Tapi setelah nama Bisma disebut, tawa keduanya pun pergi terbawa angin.

"Bisma? Siapa Bisma?," Dikdik berlagak tak tahu.

"Ya Bisma, memang ada berapa Bisma yang loe kenal?," Yudha heran.

"Bisma yang mana Yud?," Dikdik mengirimkan isyarat pada Yudha agar tak lagi menyebut nama itu dengan melebarkan matanya tapi Yudha tak mengerti. Dikdik pun menggerakkan matanya ke samping kiri dimana Ara berada. Yudha memandang Ara.

"Mmm... gue ke dapur dulu ya, ngambil minum," Ara pun berlalu dari pandangan orang yang memandangnya.

"Si Bisma bikin ulah apa lagi?," Yudha yang sudah mengerti bahwa ada sesuatu hal yang telah terjadi diantara Ara dan Bisma meminta penjelasan lengkap pada Dikdik. Dikdik pun menceritakan semua kejadian tadi siang di kantor. Yudha mendengarkannya dengan serius. Lagi-lagi cowok itu bikin Ara sedih, Bisma balik lagi ke habitat semulanya sebagai manusia yang diam tersakiti.

"Semua ini gara-gara nenek sihir itu," Dikdik mengakhiri ceritanya. Yudha menyandarkan tubuhnya pada sofa empuk di tempat favorit biasanya dia melamun.

"Pertama kalinya dalam hidup, baru kali ini gue ngerasa ga bisa ngelakuin sesuatu buat Ara. Dulu setiap ada masalah, Ara selalu nangis di depan gue dan gue punya sejuta cara buat bikin dia senyum. Tapi sekarang dia menangis dalam hati dan gue ga bisa nglakuin apa-apa buat bikin dia seneng karena gue ga tahu caranya," Yudha mengutarakan rasa di hatinya.

"Gue juga sedih lihat Ara sob. Dia orang baik tapi ketemu cinta yang ga baik," ucap Dikdik lirih. "Seandainya dia jatuh cinta sama loe dan loe juga jatuh cinta sama Ara, pasti Ara ga akan pernah sedih kayak sekarang karena gue tahu loe ga akan ngebiarin kesedihan berkenalan sama Ara." Yudha menatap Dikdik serius.

"Itu cuma pendapat gue. Boleh setuju, boleh juga ga. Ini kan negara demokrasi bos, semua rakyatnya bebas berpendapat asal sopan dan santun," Dikdik memamerkan barisan gigi putihnya. Dia berusaha mendinginkan suasana panas yang mulai terasa ketika nama Bisma disebut.

"Nyantai aja kali sob. Seperti yang loe bilang, negara ini mempersilahkan rakyatnya buat bebas berpendapat dan juga buat bebas adu jotos," Yudha menunjukkan kepalan tangannya yang siap bertarung sampai titik darah penghabisan.

"Wah, loe pikir gue berani?." Dikdik dan Yudha pun tertawa dengan debat tak bermanfaat yang mereka perbincangkan.

"Hhh, gue ga berguna Dik," Yudha kembali terdiam.

"Loe aja ga berguna apalagi gue sob," ucapan Dikdik kembali membuat tawa Yudha yang terhenti kembali berlanjut.

Di balik tembok, Ara mendengarkan perbincangan kedua sohibnya itu. Dia merasa bersalah karena membawa mereka dalam permasalahannya. Dia tidak seharusnya memperlihatkan kesedihan hatinya di depan Yudha dan Dikdik. Dia ingin sohibnya itu tidak terlalu memikirkannya dan dia ingin bisa tersenyum sebahagia mungkin di depan keduanya. Mungkin itu sulit dilakukannya mengingat cintanya yang kembali pergi tapi dia akan berusaha untuk membahagiakan orang-orang di sekitarnya. Dia menyayangi keduanya sama seperti mereka menyayanginya. Dia ingin melihat keduanya tersenyum dan bahagia sama seperti keduanya yang berusaha membahagiakan dia. Kamu bisa Ra, kamu pasti bisa. Senyum, senyum, senyum, Ara menyemangati dirinya sendiri. Semangat.

"Ada apa sih? Kok pada girang banget gitu?," Ara menampakkan diri sembari berusaha setenang mungkin dan semanis mungkin dengan mengembangkan sedikit senyum di wajahnya. Yudha dan Dikdik saling tatap. "Kenapa malah pada bengong?," Ara kembali bertanya. Yang ditanya malah tambah bengong.

"Jangan pada bengong, nanti ayam tetangga pada mati," Ara berusaha menyadarkan keduanya dari kebisuan mereka.

"Kacau nih, loe kira kita penyebar flu burung," Ara pun berhasil membangunkan Dikdik dari lamunannya. Sekarang tinggal Yudha.

"Heh tuan bengong! Lilinnya mati tuh, cepet lari"

"Asem loe Ra. Loe kira gue babi ngepet," Yudha pun berhasil dibuatnya bicara. Ara tertawa renyah, disusul Dikdik dan Yudha. Mereka pun berlomba memanjangkan tawa. Dan rekor tawa terpanjang dimenangkan oleh Dikdik karena Ara dan Yudha yang terus menggelitiknya tanpa jeda.

Senyum Ara yang hilang kini telah kembali dimunculkannya, dia bahagia melihat kedua sohibnya yang ikut berbahagia dengannya. Dia berjanji akan terus tersenyum untuk memberitahu pada semua orang bahwa dia baik-baik saja walau suatu saat nanti semua orang akan melihat air mata yang tak akan pernah berhenti dari matanya. Tapi sekarang, dia hanya akan tersenyum, senyum dan bahagia.

.^_^. .^_^.

Sepotong Hati Princessحيث تعيش القصص. اكتشف الآن