33. Nenek Sihir (1)

117 0 0
                                    

Ara, Bisma dan Dikdik berada di dalam mobil Bisma ketika mereka memutuskan untuk kembali ke Bandung. Yudha yang masih punya kepentingan disana, memilih untuk tinggal lebih lama di Cilacap bersama Sakura. Perpisahan begitu berat dirasakan oleh Dikdik yang terpaksa harus meninggalkan Talita yang sudah menjadi pacarnya.

Sepanjang perjalanan Dikdik menjadi bos besar yang sibuk telpon-telponan dan BBM-an sama pacar barunya. Sementara Ara dan Bisma saling tukar posisi menyetir jika salah satunya lelah menyetir. Dikdik bukannya tidak mau menggantikan untuk menyetir tapi dia sadar diri kalau dia sama sekali tidak bisa menyetir mobil, bisanya menyetir becak.

Udara Bandung mulai tercium setelah tujuh jam perjalanan melelahkan. Bisma mengantar Ara ke rumahnya. "Sampai besok princess," Bisma pun langsung menancap pedal gas mobilnya melanjutkan perjalanan ke rumahnya karena rencananya Dikdik akan beristirahat dulu di rumah Bisma.

"Mobil siapa Bim?," ucap Dikdik ketika melihat sebuah sedan putih parkir di depan rumah Bisma. Bisma yang juga tidak tahu langsung turun dari mobil dan mencari tahu tamu yang datang ke rumahnya. Dan terkejutlah dia saat tahu siapa tamu yang membuatnya penasaran. "Monik?," Bisma seolah tak percaya.

"Ngapain loe disini?," Dikdik snewen melihat nenek sihir yang punya hobi datang dan pergi seenaknya. Monika yang sedang mengobrol dengan Bunda Maya yang juga baru tiba dari Palembang langsung mendekati Bisma. Monika menggelendot manja pada Bisma. Bisma yang risih dengan sikap Monika, beranjak dari tempatnya untuk mendekati bundanya dan memeluknya.

"Bunda kapan sampai?," ucapnya hangat dan penuh hormat.

"Sekitar satu jam yang lalu. Eh, ternyata ada Monika lagi nungguin kamu," jawab Bunda Maya lembut.

"Oh, ya udah Bun. Bunda istirahat aja, Bunda pasti capek abis perjalanan jauh," Bisma memberi saran.

"Iya sayang. Monik, Dikdik, tante tinggal yah, mau istirahat dulu," Bunda Maya meninggalkan ruang tamu sehingga hanya menyisakan Bisma, Dikdik dan Monika.

"Ngapain loe disini Mon?," Dikdik mengulangi kalimatnya karena tadi Monika mengacuhkan pertanyaannya.

"Bukan urusan kamu kan kenapa aku disini," jawab Monika ketus.

"Memang bukan urusan gue loe ada disini. Tapi jadi urusan gue kalau loe datang dan pergi seenak loe," Dikdik makin sewot tidak terkira. Belum pernah seumur-umur dia membenci seorang wanita seperti dia membenci nenek sihir satu ini.

"Itu juga bukan urusan kamu. Cuma aku yang boleh mengatur hidup aku, bukan kamu ataupun orang lain," Monika menekankan kalimatnya.

"Nah! Tuh loe tahu. Loe ga mau orang lain ngatur hidup loe berarti loe juga bisa kan ga mengatur hidupnya Bisma," Dikdik hampir kehabisan kesabarannya. Monika melebarkan matanya, geram, dia memelototi Dikdik yang tampak telah memenangkan pertempuran mulut itu.

"Kamu...," Monika hendak melayangkan tangannya ke wajah Dikdik tapi dengan sigap Dikdik menangkisnya. Kalau Monika bukanlah seorang wanita, dia pasti sudah menonjok nenek sihir itu sampai tak berbentuk, digulung-gulung wajahnya, dimasukkan botol dan dilempar ke laut. Dikdik mencengkram tangan Monika kuat, Monika meringis kesakitan.

"Udah Dik, loe istirahat aja di kamar," Bisma berusaha melerai. Dikdik pun melepaskan cengkramannya yang membekas merah di tangan Monika dan langsung meninggalkan ruangan itu dengan amarah yang masih tersisa dalam hatinya. Monika mendekati Bisma.

"Sakit Bim," keluh Monika ketika dia berdiri di samping Bisma. Bisma tidak bereaksi seperti yang diharapkan Monika. "Kamu kok diem aja," keluh Monika melihat sikap Bisma.

"Monik...," Bisma menggantung kalimatnya. Monika memperhatikan, sabar menunggu kalimat Bisma selanjutnya. Ucapannya mungkin akan membuat Monika sakit hati tapi ini memang harus dilakukan agar Monika tidak berharap lagi padanya. Bisma merasa bersalah karena selama ini dia banyak diam dan seperti memberikan harapan pada Monika padahal diamnya itu hanya agar Monika tidak merasa disakiti. Sekarang dia harus berani bicara dan ini semua untuk kebaikan Monika dan semuanya. "Lebih baik loe pulang sekarang, gue capek banget, gue mau istirahat. Kita ngobrol lagi besok," Bisma menyambung kalimatnya. Monika kaget mendengar kata-kata Bisma yang mengusirnya secara halus, walau halus tetap saja diusir. Bisma membalikkan tubuhnya, bersiap melanjutkan langkah menuju kamarnya. Langkahnya terhenti ketika Monika tiba-tiba menempel erat di punggungnya. "Kamu berubah pasti karena Ara," ujar Monika lirih.

"Lepas Mon, tolong. Lepasin," Bisma berusaha keluar dari pelukan Monika tapi Monika malah makin kuat menempel di tubuh Bisma bagai parasit yang sulit dipisahkan dari sumber kehidupannya.

"Gue udah jatuh cinta sama orang lain Mon. Gue udah memberikan hati gue buat dia," ucapan Bisma membuat pelukan Monika lepas dengan sendirinya. Monika menunduk, kecewa, sedih dan marah.

"Ara kan yang kamu maksud!!," bentak Monika melampiaskan kekecewaannya. Bisma terdiam.

"Gue harap mulai sekarang kita menjalani hidup dengan keputusan kita masing-masing."

"Aku ga bisa hidup tanpa kamu Bim," Monika mendekatkan dirinya kembali pada Bisma tapi Bisma pun berusaha menghindari itu. Dia mencoba menjaga setengah hati Ara yang telah menetap di hatinya.

"Kamu pasti bisa," Bisma meyakinkan.

"Tapi kamu hutang nyawa sama aku, kamu inget itu," Monika masih belum bisa terima dengan pengakuan Bisma.

"Ya, gue hutang nyawa sama loe dan sampai kapanpun gue ga akan pernah bisa ngebayar hutang gue itu. Gue cuma bisa berterima kasih sama loe Mon. Trima kasih atas kebaikan loe, semoga Tuhan membalasnya dengan memberi loe kehidupan yang bahagia." Wajah Monika merah padam, marah, marah besar. Ucapan Bisma seperti kata perpisahan yang mengusirnya dari kehidupan Bisma. Dia tidak mau seperti ini. Dia menginginkan Bisma seutuhnya dan hanya untuknya. Jika dia tidak bisa memiliki Bisma maka orang lain pun tidak.

"Kamu ga perlu bayar hutang kamu dengan nyawa kamu Bim. Karena aku sendiri yang akan mengambil nyawa orang yang kamu sayang. Aku akan mulai menyakiti Ara dan akan terus menyakitinya sampai kamu kembali sama aku," ancaman Monika mengganggu ketenangan Bisma. Dia pun berlalu meninggalkan senyum sinis untuk Bisma.

"Gue ga akan membiarkan itu terjadi Mon." Monika menghentikan langkahnya, dia berbalik menatap Bisma. "Gue akan selalu menjaga Ara," Bisma membelakangi Monika yang masih terpaku tak bergerak. Bisma pun meninggalkan Monika di ruang tamu rumahnya.

"Kita lihat aja nanti Bim. Aku akan bikin kamu bertekuk lutut di depan aku," ucap Monika yang kemudian melangkah pergi bersama sedan putih yang setia menunggunya.

.^_^. .^_^.




Sepotong Hati PrincessWhere stories live. Discover now