36. Dinding Es

95 1 0
                                    

Tiga hari berlalu setelah skenario licik bunuh diri Monika disambut oleh Bisma. Hari-hari selanjutnya sangat menguras hati Dikdik dan tentunya Ara yang kembali merasakan hadirnya dinding es diantara dirinya dan Bisma. Setiap hari tepatnya jam makan siang, Monika selalu datang ke kantor untuk menemani Bisma. Monika selalu menggelendot manja pada Bisma, selalu berusaha membuat Ara cemburu dan selalu menunjukkan kedekatannya dengan Bisma. Semua teman-teman kantor mengelus dada masing-masing, mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi tapi yang mereka tahu kalau hubungan Ara dan Bisma bisa dibilang game over.

"Sayang," sapa Monika siang itu ketika berhasil menduduki kursi kosong di samping Bisma.

"Sayang sayang, 'pala loe peyang," Dikdik kesal bukan main melihat tampang nenek sihir yang mondar-mandir setiap hari di depan matanya, belum lagi gayanya yang centil bikin orang-orang pengen nyentil.

"Kamu kenapa sih Dik? Kalau ga suka sama aku, ngomong aja ga suka," Monika bangkit dari kursi yang baru beberapa detik disinggahinya.

"Wey, nyadar diri dong. Dari dulu juga gue ga suka sama loe," Dikdik membanting meja, membuat gelas-gelas minuman di meja bergetar dahsyat. "Lagian loe ga ada kerjaan lain apa?! Tiap hari dateng kesini, mondar-mandir kayak setrikaan ga jelas."

"Terserah aku dong. Hidup hidup aku, kenapa kamu yang sewot?," adu mulut Dikdik dan Monika terus berlanjut. Emosi keduanya berada di puncak tertinggi.

"Loe orang kaya yang ga tahu diri ya," Dikdik terus melancarkan serangannya. Perang ini kembali dimulai. Monika yang ringan tangan mengambil segelas air putih di depannya dan membuang air di dalam gelas tepat ke wajah Dikdik sehingga membuat wajah Dikdik dan pakaiannya basah.

"Dan kamu orang miskin yang ga punya harga diri," Monika melengkapi kalimat sadisnya. Bisma ikut berdiri, dia pun berusaha menenangkan Monika. Dikdik yang tidak terima dengan ucapan Monika langsung mendekati Monika dan hendak mendaratkan tamparan keras ke wajah Monika tapi Bisma mencegahnya.

"Kalau gue memang sohib loe, lepasin tangan gue Bim." Bisma tak bergeming. "Gue bukan sohib loe lagi," Dikdik menegaskan persahabatan mereka berakhir sampai disini. Dia pun menyelamatkan tangannya dari genggaman Bisma yang melonggar.

"Kamu ga ada apa-apanya dibanding aku. Kalau aku mau, aku bisa beli kamu dan seluruh keluarga kamu. Kamu cuma benalu di kehidupan orang lain yang bisanya nyusahin orang. Kamu ga lebih dari sekedar sampah yang membusuk di pinggir jalan," Monika yang merasa Bisma membelanya, terus-terusan merendahkan Dikdik. Ara berdiri dari singgasananya dan menumpahkan segelas jus alpukat yang dipesannya di baju Monika. Monika melebarkan matanya dan menatap Ara dengan amarah tingkat tinggi.

"Loe bisa diem ga sih Mon, berisik banget," protes Ara yang tidak tahan lagi mendengar perkataan Monika kepada Dikdik.

"Kamu... berani ya!," Monika mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Ara.

"Memang apa yang perlu gue takutin dari loe? Hm! Apa? Nothing," Ara mendekati Monika. Monika yang kaget dengan sikap Ara ini, tak mampu menggerakkan tubuh dan lidahnya untuk melawan. "Kalau loe punya cermin di rumah, sebaiknya loe bercermin dulu sebelum menilai orang lain." Sorot mata Ara yang menantang Monika dapat terbaca jelas oleh Monika tapi entah mengapa dia seakan kehilangan kemampuannya untuk bertarung dengan Ara. Seluruh tubuhnya menjadi kaku, keringat dingin menghinggapinya dan lidahnya yang tadi lancar bergerak seakan terlipat berbalik memusuhinya.

"Ayo Dik," Ara dan Dikdik bergegas kembali ke meja kerjanya, rasa lapar yang dirasakan hilang dalam sekejap. Tak ada lagi nafsu untuk memenuhi isi perutnya.

"Ra... Ara... Ara," Bisma mengejar Ara. Ara yang sedang tak ingin bicara dengan Bisma, mempercepat langkahnya. Bisma menahan tangan Ara. Ara berhenti. Dikdik yang melihat itu siap beradu dengan Bisma tapi karena gelengan kepala Ara, Dikdik membatalkan niatnya.

"Ada apa lagi Bim?," Ara berusaha setenang mungkin. Bisma terdiam, lagi-lagi dia tak bicara di saat seharusnya dia bicara banyak.

"Loe boleh nyakitin gue Bim tapi jangan pernah loe nyakitin sahabat loe," ujar Ara yang bosan melihat Bisma hanya terdiam.

"Maksud gue bukan gitu Ra," Bisma pun terpancing untuk menjelaskan semuanya. Tapi beberapa detik kemudian dia kembali kehilangan kata. Hobi diamnya membuatnya kehilangan banyak kesempatan yang selalu hadir di hadapannya.

"Bim, gue dan Dikdik bukan Tuhan yang tahu isi hati loe," Ara menarik tangannya dari cengkraman Bisma. Keduanya pun berlalu meninggalkan Bisma. Bisma tak berniat untuk kembali mengejar. Percuma dia mengejar Ara dan Dikdik karena toh pada akhirnya dia tidak bisa menjelaskan semuanya. Diamnya membuatnya menjadi seorang pecundang. Loser yang kehilangan cinta dan sahabat. Menyedihkan...

.^_^. .^_^.

Sepotong Hati PrincessOnde as histórias ganham vida. Descobre agora