34. Nenek Sihir (2)

106 0 0
                                    

Ara hendak menyebrang ke sebrang jalan menemui Bisma yang sedang menunggunya ketika sebuah sedan putih melintas kencang di depannya dan hampir menabraknya. Untung dengan cepat Ara berhasil menghindar dan hanya terserempet tanpa luka. Bisma yang melihat itu sontak langsung menyebrang ke tempat Ara. Dia memandang sedan putih yang mulai mengecil di pandangannya karena sosok mobil itu makin menjauh.

"Sekilas tadi gue lihat Monik yang bawa mobil. Apa gue salah lihat kali ya," Ara mengutarakan rasa penasaran di hatinya.

"Itu memang Monik," Bisma yang tahu pasti pemilik sedan putih itu meyakinkan Ara. Ara menatap Bisma, serius. Ara tidak ingin lagi Bisma menjauhinya. Dia ingin Bisma selalu bersamanya dalam situasi apapun, dia ingin Bisma selalu menggenggam tangannya untuk menuntun hidupnya menuju kebahagiaan. Dia ingin Bisma selalu merangkulnya untuk menjaga dan memekarkan senyumnya. Dia ingin Bisma selalu disisinya, menghapus air matanya, tersenyum bersamanya dan menjadi penopang yang menahannya ketika dia terjatuh suatu hari nanti.

"Bim, apapun yang terjadi nanti, aku minta kamu selalu ada di sisi aku. Jadilah tongkat yang selalu menguatkan aku," air mata Ara menetes dengan sendirinya. Pilu bagi Bisma melihat mata air keluar dari mata Ara. Dia membiarkan air mata sang princess mengalir karena air mata itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa dia harus menghapusnya. Bisma ingin Ara menumpahkan air matanya di depannya karena dengan begitu dia jadi tahu seberapa besar luka yang ada di hati Ara. Daripada Bisma harus melihat Ara tersenyum padahal hatinya menangis. Salahnya karena menarik Ara masuk ke dalam kehidupannya sehingga membuat Ara merasakan banyak kepedihan. Tapi dia mencintai sang princess, dia tidak ingin melepasnya. Dia ingin menjaganya, membahagiakannya dan mengajaknya menghabiskan hidup bersama dengannya.

Aku akan menjaga kamu princess.

.^_^. .^_^.

Jam makan siang yang menyenangkan berubah drastis ketika nenek sihir datang tanpa hujan badai dan tanpa halilintar. Nenek sihir berkostum pink begitu feminin, menyedot mata-mata lelaki yang kurang iman.

"Mau apa lagi sih tuh nenek sihir?," Dikdik menggerutu melihat kedatangan Monika di kantor siang itu. Monika tidak langsung bergabung ke meja tempat Ara, Bisma dan Dikdik duduk. Dia memesan secangkir kopi panas lalu berjalan ke meja Bisma berada. Sebelum sampai di kursi kosong sebelah Ara, cangkir kopinya jatuh dan air kopi yang panas itu menyerang kulit Ara yang tidak tahu apa-apa.

"Awww," Ara bangkit dari kursinya, mencoba membersihkan tangannya sambil menahan panas yang serasa membakar kulitnya. Bisma melepas jas-nya dan membersihkan air kopi di tangan Ara dengan jas kerjanya.

"Loe tuh ya, bikin gara-gara aja. Sengaja loe!," bentak Dikdik yang terang-terangan melihat Monika dengan sengaja menjatuhkan cangkir yang dipegangnya untuk mengalirkan kopi panas ke tangan Ara.

"Sorry, aku ga sengaja," ucap Monika pura-pura bersalah padahal hatinya berkata 'Ini belum apa-apa.' Bisma membawa Ara pergi dari tempat itu, Monika hendak mengikutinya tapi Dikdik menahan Monika.

"Eits, mau kemana loe!," bentakan Dikdik disetujui oleh teman-teman kantor yang menyaksikan akting Monika yang payah. Semua orang melihat kalau Monika menjatuhkan cangkirnya dengan sengaja sehingga mengenai Ara.

"Terserah aku dong," Monika tak kalah sewotnya dengan Dikdik.

"Loe ga bisa pergi gitu aja, tanggung jawab dong. Beresin dulu nih semua," Dikdik menunjuk air kopi yang mengotori lantai dan membuat lantai licin. Monika mengeluarkan beberapa lembar lima puluh ribuan dari dompetnya dan melemparkannya ke wajah Dikdik. "Beres kan," ucapnya sombong. Tekanan darah Dikdik makin tinggi melihat sikap Monika yang begitu angkuh. Dia tidak terima nenek sihir itu merendahkan harga dirinya sebagai seorang manusia.

Sepotong Hati PrincessWhere stories live. Discover now