25. Ich Liebe Dich

158 1 0
                                    

"Bisma, ngapain loe tiduran disitu?," tanya Dikdik melihat Bisma yang asyik bengong di lantai kamarnya. Bisma justru terkejut melihat sosok Dikdik yang seperti jin tiba-tiba muncul di dalam kamarnya.

"Ngapain loe disini?," Bisma balik bertanya.

"Nah loe, ditanya balik tanya," Dikdik mendekati Bisma dan terduduk di salah satu sudut tempat tidur Bisma. "Loe amnesia kali ya Bim. Gue kan nge-kost di rumah loe satu malem." Oh ya, Bisma baru ngeh kalau Dikdik yang memang punya kamar pribadi di rumah Bisma karena sudah terlalu sering menginap, tadi malam lagi-lagi numpang tidur dan makan gratis di rumahnya.

"Dimana-mana yang namanya nge-kost itu bayar. Nah kalau loe itu namanya numpang, maunya yang gratisan terus," sindir Bisma membuat Dikdik mengepalkan tangannya, siap untuk adu jotos dengan Bisma. Bisma tak gentar, dengan santai dia menempatkan diri di samping Dikdik.

"Gue lagi mikirin Ara Dik. Gue lagi nyari cara buat bikin dia bahagia," Bisma memulai ceritanya lagi di pagi ini. Dikdik melunak mendengar kegundahan sohibnya itu dan mengubur kepalannya. "Sampe sekarang gue belum tahu apa yang mesti gue lakuin buat bikin Ara tersenyum... tapi sekarang dengan sendirinya Ara udah bisa senyum kayak dulu."

"Mmm Bim, gue bukannya mau mengecilkan hati loe tapi...," Dikdik menghentikan ucapannya ketika Bisma menatapnya. "... justru loe harus pasang lampu kuning kalau Ara bisa senyum lagi kayak dulu. Itu bisa jadi dia memang nyaman sama loe...," sekilas senyum terlukis di wajah Bisma. "Tapi sebagai temen Bim, ga lebih. Loe ngerti maksud gue kan," Dikdik menyelesaikan kalimatnya agar Bisma tak salah mengartikan ucapannya. Dan senyum itu pun terhapus dari wajah Bisma, berganti sendu meng-iyakan ucapan Dikdik. Benar juga, kalau Ara merasa nyaman berteman dengan dirinya, dia yakin Ara tidak akan meminta lebih karena dia tahu Ara. Ara tidak akan meminta hal yang lebih jika dia sudah nyaman dengan keadaan yang dirasanya sekarang. Jika Ara lebih nyaman dengannya dalam konteks teman?? Tidak. Dia tidak mau memikirkan itu, dia ingin Ara bukan hanya menjadi temannya saja tapi menjadi teman hidupnya juga.

"Gue bukannya mau ngeguruin loe Bim, gue juga ga pakar banget lah dalam hal beginian. Tapi gue bilang semua ini menurut kacamata gue."

"Gue siap denger Dik."

Dikdik membetulkan duduknya, menyusun kalimat yang tepat agar tak sedikitpun perkataannya menyinggung perasaan Bisma.

"Cinta itu bukan tentang logika tapi tentang rasa. Yang gue lihat dari loe, loe itu terlalu banyak mikir buat nemuin cara untuk ngebahagiain Ara. Loe berusaha nyari jawaban yang ga bakal loe temuin selama loe cuma diem dan berpikir," Dikdik memandang Bisma, coba menangkap apakah ada perubahan di wajah Bisma. Setelah dia memastikan tak ada emosi berlebih yang ditunjukkan Bisma, dia pun melanjutkan kembali perkataannya.

"Loe ga perlu mengumbar janji kayak pejabat-pejabat yang ga pernah nepatin janjinya. Cinta itu ga butuh janji, tapi butuh bukti. Selama loe diem, Ara pasti berpikir kalau memang cuma pertemanan yang loe mau," Bisma hendak berkomentar tentang satu kalimat itu tapi Dikdik secepat kilat menyambung kalimatnya. "Padahal loe pengen lebih dari berteman, bener kan?," Bisma mengangguk membenarkan perkataan Dikdik.

"Biarin semuanya mengalir kayak air karena sebenarnya jawaban yang loe cari akan loe dapet kalau loe mulai bangkit dari diam, berjalan menjalani semuanya, berani melakukan apa yang ingin loe lakukan, bicara saat ingin bicara. Loe pasti inget kan omongan Ara itu," lagi-lagi Dikdik benar. Dia memang terlalu banyak diam dan berpikir sampai akhirnya dia sadar kalau Ara memang mulai berteman dengannya, berbincang dengannya sebagai seorang teman bukan sebagai kekasih.

Sepotong Hati PrincessWhere stories live. Discover now