29. Will You Marry Me?

136 1 0
                                    

Bisma tidak bisa menjemput Ara hari ini untuk berangkat ke kantor bareng karena dia harus mengantarkan Bundanya ke bandara untuk bertolak ke Palembang, menghadiri pernikahan saudaranya. Awalnya Bisma akan ikut tapi dia berubah pikiran karena dia ada rencana besar di Bandung. Bundanya yang sudah tahu rencana Bisma, tidak lagi memaksa Bisma untuk ikut terbang ke kota mpek-mpek itu.

"Semoga berhasil ya Nak," Bunda Maya mengelus kepala putranya itu dan mendaratkan ciuman hangat seorang ibu. Bisma mencium tangan Bunda. "Hati-hati ya Bun. Kalau udah sampai, telpon Bisma. Titip salam buat semuanya."

Bunda Maya pun menaiki pesawat, bertolak menuju Palembang. Rencananya, selama dua minggu Bunda Maya akan berada di Palembang.

Bisma memastikan pesawat menuju Palembang sudah mengudara dan setelah yakin dia pun bergegas menuju kantor... bertemu dengan sang princess. Dia kangen. Padahal baru kemarin ketemu tapi setiap detik dia selalu merindukan Ara. Princess, miss you.

.^_^. .^_^.

Bisma yang baru tiba di kantor melangkahkan kakinya menuju tempat Ara. Ara terlihat gundah, dia seperti sedang mencari sesuatu, sesuatu yang sangat berharga karena kepanikan tertera di wajahnya.

"Cari apa Ra?," tanya Bisma yang penasaran.

"Kalung," jawab Ara singkat.

"Kalung apa?"

"Kalung yang loe kasih ke gue," Ara masih sibuk mencari di tasnya, di kolong meja kerjanya tapi nihil. Kalung berliontin lumba-lumba itu tidak ada disana, sedang berenang dimana ya sepasang lumba-lumba itu. Bisma bukannya ikut mencari tapi dia malah menatap Ara, sebegitu berharganya kah kalung pemberiannya itu?

"Tadi gue naik angkot terus...," Ara mengingat kembali deskripsi keberangkatannya hari ini ke kantor secara mendetail karena terlintas di pikirannya mungkin kalung itu jatuh di jalan. "Jangan-jangan... jatuh waktu gue turun dari angkot lagi," Ara bicara pada diri sendiri. Setengah berlari Ara keluar dari kantor diikuti Bisma di belakangnya. Mata Ara tertuju pada jalanan yang dilewatinya tadi pagi sampai matanya berbinar ketika sepasang lumba-lumba yang dicarinya ternyata terdampar di pinggir jalan. Dia memandangi kalung itu dengan kelegaan dan kepuasaan tak terlukis. Dia berusaha mengambilnya diantara mobil-mobil yang seakan berebut menghalanginya. Ara berhasil mengambil kalung yang hilang dari lehernya. Suara klakson berulang kali protes pada Ara yang berdiri menghalangi jalan mobil dan motor yang lalu lalang di jalanan. Tapi telinga Ara yang sensitif seakan menjadi tuli dengan semua suara-suara itu. Ara tersadar dari kebahagiaannya, dia mendengar klakson keras yang protes padanya. Ara pun menoleh dan mendapati sebuah truk besar yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata hendak melintas menabrak ke tempatnya berdiri. Sepersekian detik lagi tubuhnya berciuman dengan truk itu tapi kemudian dia merasakan tubuhnya ditarik dari belakang. Dia pun selamat. Truk besar bermuatan pasir itu tidak menciumnya tapi siapa yang menariknya? Dia pun menoleh.

"Bisma?," Ara memandang Bisma dan merasa bersalah. Dia menatap tangan kanan Bisma yang berdarah seperti tergores benda tajam. Air mata Ara menetes tanpa disadari. Bisma yang sekarang sudah punya kemampuan untuk memahami Ara dan seakan membaca pikiran Ara langsung berusaha menenangkan Ara.

"Bukan karena loe tapi karena gue mau ngelakuin itu," Bisma meletakkan tangan kirinya di pipi Ara, menghapus air mata Ara yang justru lebih menyakitkan dari rasa sakit di tangan kanannya yang berdarah. "Tersenyumlah selalu buat gue princess." Ara pun tersenyum walau terpaksa dan menyeka tangis yang bertamu tanpa undangan.

Sepotong Hati PrincessWhere stories live. Discover now