14. Batu Cinta (2)

154 3 0
                                    

Jam enam pagi Ara dan teman-temannya sudah berkumpul di kampus untuk berwisata menuju Ciwidey, sekalian perpisahan. Teman-temannya yang biasa datang telat, hari ini malah datang sebelum jam enam. Mereka sangat bersemangat. Gimana ga semangat coba! Transportasi gratis, bensin gratis, tiket gratis, makan minum gratis. Pokoknya mereka tinggal duduk manis. Tapi Ara dan Bisma harus merogoh kocek mereka dalam-dalam untuk menanggung semua kegratisan itu. Kata teman-temannya sih, mereka berdua yang dapat hadiah dari kampus sebagai mahasiswa terbaik harus, wajib dan kudu mentraktir teman-temannya yang kere.

"Bisma mana sih, tumben dia telat," gerutu Dikdik. Teman-teman yang lain pun sependapat dengan perkataannya. Lima belas menit dari jam enam, X-Trail Bisma memunculkan batang hidungnya di kampus.

"Sorry gue telat," ucapnya ketika turun dari mobil. Semua orang yang hendak memuntahkan kekesalannya pada Bisma, membatalkan niatnya ketika melihat tangan kiri Bisma diperban dan Bisma agak meringis kesakitan ketika Dikdik menepuk pundak kirinya.

"Kenapa tangan kamu Bim?," tanya Ayu yang berdiri di sebelah Dikdik.

"Eee, ini," Bisma menunjukkan tangannya yang diperban. "Keserempet motor kemarin," lanjutnya.

"Loe yakin bisa nyetir sampe Ciwidey? Inget lho, loe bawa anak orang. Kalau ada apa-apa gimana?," Dikdik meragukan kemampuan mengemudi Bisma yang tangannya sedang cedera.

"Loe aja yang nyetir Dik," suara sumbang teman-temannya sedikit menyindir Dikdik.

"Gila ya kalian! Mau langsung masuk rumah sakit loe-loe semua," tolak Dikdik keras.

"Ga apa-apa kok, gue masih bisa nyetir," ucap Bisma menghentikan perdebatan itu.

"Gue aja yang nyetir," Ara mengambil kunci mobil di tangan Bisma tanpa menunggu persetujuan teman-temannya. Ara pun duduk di balik kemudi mobil itu. Bisma duduk di samping kirinya, Dikdik di kursi tengah bersama kedua orang teman yang ikut di mobil Bisma. Rombongan enam mobil itu pun berarak keluar kampus menuju Ciwidey.

.^_^. .^_^.

Kawah Putih...

Ara, Bisma dan Dikdik jalan beriringan, melangkahkan kaki menuruni anak tangga. Ara sesekali berpegangan pada pagar bambu di sebelah kirinya. Sepanjang mata memandang, mata dimanjakan dengan pemandangan yang begitu indah. Pohon berdaun hijau yang rindang membuat tempat itu terasa cozy dan green, ada juga pohon bercabang banyak namun tanpa daun, kawah putih yang bila disentuh airnya terasa hangat dan bau belerang pun tercium oleh hidung, tempat itu terasa tambah romantis karena adanya kabut tebal yang menaungi kawasan Kawah Putih. Mereka semua menikmati semua pemandangan itu seakan-akan baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu, padahal mereka sudah sangat kenal dengan Kawah Putih ini. Tapi itulah hebatnya Kawah Putih, tak pernah membuat orang bosan untuk bertamu berulang kali.

"Ciiisssss," kompak mereka menyuarakan satu kata itu ketika fotografer dadakan, Dikdik, mengabadikan perjalanan wisata mereka di kamera pribadinya. Jepret, jepret, jepret... Dikdik mengambil gambar orang-orang di sekitarnya, baik yang dikenalnya maupun yang tidak.

"Kesana yuk," ajak Ayu menunjuk ke seberang. Semua temannya mengiyakan. Untuk menuju ke seberang, mereka harus memutar jalan. Ara menghentikan langkahnya ketika dia memutuskan untuk membaca tulisan di sebuah papan, yang bertuliskan...

"Dari sinilah awal mula berdirinya pabrik belerang kawah putih dengan sebutan pada Zaman Belanda yaitu ZWAVEL ONTGINING KAWAH PUTIH, dan pada Zaman Jepang usaha pabrik belerang ini dilanjutkan dengan sebutan KAWAH PUTIH KENZANKA YOKOYA CIWIDEY dibawah pengawasan langsung militer Jepang."

"Ngapain sih loe disini, ayo!," Dikdik menarik Ara padahal tulisan di papan itu belum selesai dibaca olehnya. Ara tak melawan, mungkin lain waktu dia akan menyelesaikan bacaan itu. Mereka pun sampai di tempat yang ditunjuk Ayu dan para personil kembali beraksi, memasang wajah secantik atau sejelek mungkin. Terlalu sering mereka foto-foto, lama-lama mereka pun mati gaya, bingung harus bergaya apa lagi. Setelah dua jam berada di Kawah Putih akhirnya mereka pun memutuskan untuk melanjutkan wisata mereka ke tempat selanjutnya. Sambil menikmati jagung bakar dan menyanyi-nyanyi di mobil, mereka pun pergi meninggalkan kawasan Kawah Putih menuju Situ Patengang. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi mata mereka dimanjakan oleh pemandangan kebun teh yang luas di kanan dan kiri mereka.

Ara dan teman-temannya memarkirkan mobil mereka tepat di parkiran yang menghadap langsung ke danau Situ Patengang. Para penjual strawberry pun langsung menawarkan jualan mereka, ada yang beli, ada juga yang tidak.

Hujan gerimis melengkapi mendung yang menaungi langit Situ Patengang, Ara dan yang lainnya pun memutuskan untuk tetap di mobil menunggu hujan berhenti sambil menyantap makan siang mereka. Bisma kesulitan membuka aqua botolnya, Ara menawarkan bantuan dan membukakan tutup botol minuman Bisma.

"Thanks," hanya kata itu yang keluar dari mulut Bisma.

"Sama-sama," dan hanya kata itu yang Ara ucapkan. Ketiga teman di belakangnya bengong, sedingin itukah Ara dan Bisma sekarang padahal dulu mereka begitu hangat dan akrab. Hujan diluar telah berhenti, mereka pun keluar mobil, berjalan-jalan mengitari daerah itu dan memutuskan untuk naik perahu menuju Batu Cinta.

.^_^. .^_^.

Bisma terduduk menghadap danau, membelakangi batu besar yang mempunyai nama Batu Cinta. Pikirannya sibuk mengenang kejadian satu tahun yang lalu dimana dia dan Ara duduk bersama menikmati pesona danau yang tak pernah padam.

Setahun yang lalu.

Bisma menyiapkan sebuah pesta kecil di tempat ini, untuk memberikan surprise di hari ulang tahun Ara dan juga untuk menyatakan perasaanya pada Ara. Kue ulang tahun di tangannya dan Ara pun meniup lilin yang menghiasi kue itu sambil menikmati lagu happy birthday yang keluar dari suara Bisma yang begitu lembut.

Di tangan Bisma sebuah kotak yang ingin diberikannya pada Ara sebagai kado ulang tahun terdiam membisu tanpa kata. Bisma menarik napas berat lalu mendekati Ara dan duduk di samping princess-nya itu, berusaha menikmati keindahan danau tapi tak bisa karena hatinya dipenuhi kegelisahan dan matanya dipenuhi oleh keindahan sang Aurora.

"Ara," panggilnya lirih dan dia pun mengubah posisinya menghadap Ara. Kotak yang disembunyikan di belakang tubuhnya, perlahan diberikan pada Ara. Ara membuka kotak itu dan tampak menyukai hadiah yang diberikannya, Bisma pun lega.

"Boleh aku pasang di leher kamu?," Bisma menawarkan diri. Anggukan Ara membuat senyum mengembang di bibir Bisma. Tangannya mengambil kalung berliontin lumba-lumba dari dalam kotak dan dia mengalungkannya di leher Ara. Bisma merasa Ara menatapnya, sekilas dia melirik dan menahan lebih lama lirikannya. Sorot mata Ara yang penuh sayang menghilangkan ketidakpastian dan kegelisahan di hatinya. Dia mencium kening Ara, lama. Hembusan angin menyadarkannya dan dia pun menjauhkan wajahnya dari Ara. Bisma siap mengatakannya sekarang. Dia menggenggam tangan Ara, mengajak Ara berkeliling tempat itu.

Bisma mengatur napas, menyusun kata-kata dalam otaknya, dia harus mengatakannya sekarang, sudah terlalu lama dia menyimpannya dalam hati, sudah saatnya Ara tahu yang sebenarnya kalau dia sangat mencintai Ara.

"Kamu sering kesini Ra?," Bisma mencari prolog yang benar sambil dirinya memberi waktu pada hatinya yang lari-larian untuk tenang.

"Dulu, sering, sama Yudha," jawab sang princess santai. Yudha? Mendengar nama itu keraguan kembali bersarang di benak Bisma.

"Kamu sayang banget sama Yudha?," pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Bisma. Ara menoleh pada Bisma lalu manengadahkan kepalanya ke langit yang tampak mendung.

"Selalu, selamanya, sayang ini ga kan pernah habis buat Yudha," Ara kembali menatap Bisma. "Yudha selalu bikin aku bahagia, dia paling tahu cara bikin aku tersenyum, cara bikin aku speechless, cara memanjakan aku. Dari kecil kita selalu bareng-bareng, dimana ada Yudha pasti ada aku, begitu juga sebaliknya. Yudha itu sahabat, kakak, dan musuh buat aku," lanjut Ara jujur sejujur-jujurnya. Tapi kejujuran itu membuat Bisma berpikir satu hal, kalau sayang Ara hanya untuk Yudha bukan untuk dirinya, dan Ara bahagia bersama Yudha bukan dengannya. Lalu untuk apa dia memiliki Ara jika ternyata Ara telah menemukan kebahagiaannya? Cinta tak harus memiliki. Dia rela Ara tidak bersamanya asalkan Ara bahagia. Sejak itu, Bisma perlahan melepas genggamannya dan mulai menjauh dari Ara demi kebahagiaan Ara. Ya! Demi Ara.

"DOORRRRRR!!!!!," Dikdik mengejutkan Bisma yang sibuk melamun. "Mikirin negara loe, kusut gitu muka loe," lanjut Dikdik, mengundang senyuman tipis di wajah Bisma.

"Yuk balik, tuh anak-anak udah pada nunggu di perahu," ajak Dikdik sambil berlalu dari tempat itu dan berjalan menuju perahu diikuti Bisma di belakangnya. Bisma menghentikan langkahnya, menatap batu besar yang menjadi saksi bisu kisahnya setahun yang lalu.

Semoga ini yang terbaik, bisiknya dalam hati.

.^_^. .^_^.

Sepotong Hati PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang