Part 15 - Side A

546 56 7
                                    

"Goodbye."

Amber POV

Malu. Aku sangat malu saat ini sekaligus kecewa. Mengapa semalam tidak terpikirkan olehku untuk membentaknya ketimbang membiarkannya pergi? Mengapa aku terus memendam segalanya sendiri lalu menyakiti hatiku melebihi apapun? Mengapa aku tidak bisa memohon padanya agar tetap bersamaku?

Sepertinya aku tidak bisa tinggal di tempat ini lagi. Tempat ini terkutuk. Apartemen sebrang lebih terkutuk daripada apapun. Aku harus pergi, tapi masalahnya kemana aku harus pergi?

"Akh," aku sedikit meringis ketika berusaha untuk bangkit dari ranjang. Sekujur tubuhku rasanya sangat sakit, tapi untuk saat ini hatikulah yang menanggung beban paling besar. "Bastard." Bisiku lirih sembari berjalan pelan menuju kamar mandi.

Kubersihkan seluruh tubuhku. Bahkan aku rela mencuci rambutku dua kali hanya karena aku benci memingat kejadian kemarin malam. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Dia ingin membuatku nyaman tapi pada akhirnya tetap pergi?

Kusugar rambutku ke belakang lalu menengadah, menerima tetesan air dari shower yang membasuh wajah juga tubuhku, membawa tetesan air mataku menjauh. Semuanya sudah berakhir. Dia sudah menegaskannya, kini giliranku yang mengatakannya.

Mari kita akhiri semuanya.

•••

Kutundukkan kepalaku untuk yang ketiga kalinya sembari memainkan jemariku. Saat ini aku sedang berdiri tepat di depan pintu apartemen terkutuk bersama dengan satu koper di sampingku.

Seharusnya aku sudah mengetuk pintu dihadapanku beberapa menit yang lalu, tapi aku baru tahu bahwa mengucapkan selamat tinggal terasa sangat sulit dibandingkan dengan melakukan tindakan bodoh. Aku hanya tidak bisa memperkirakan apa yang akan dikatakan olehnya.

Apa dia akan sedih? Memelukku? Memintaku untuk tinggal? Aku akan mengetahui jawabannya bila aku berani untuk mengetuk pintu itu. Sial. Ini sulit.

Kutarik napasku dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tangan terkepal siap untuk mengetuk. Hatiku menghitung sampai tiga lalu suara ketukan pintu yang lemah terdengar di sepanjang koridor apartemen, dan entah mengapa rasanya terdengar sangat menyakitkan.

Kutundukan kepalaku ke bawah, memejamkan mata lalu menghitung satu sampai sepuluh perlahan, berharap agar pintu tidak terbuka. Tapi aku lupa karena setiap kali aku berharap pintu ini tidak terbuka, kenyataannya akan selalu berbanding terbalik.

Telingaku menangkap suara kunci diputar, lalu tak lama suara pintu terayun membanjiri telingaku. Kuhembuskan napas panjang untuk yang terakhir sebelum akhirnya membuka mata perlahan.

Jantungku berdegup kencang ketika melihat kaki telanjangnya. Kaki yang pernah berada di apartemenku, mobilku, bahkan ranjangku. Kutelusurkan pandanganku merambat ke atas sampai akhirnya tatapan kami bertemu.

Dia sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun tapi aku sanggup melihat bahwa matanya memancarkan kegelisahan. Semakin aku menatapnya, aku semakin sadar bahwa dia pasti tidak sempat tertidur. Bahkan dia masih mengenakan kaus juga celana yang sama seperti kemarin saat kami bersama.

Kata-kataku semakin sulit untuk terlontar, tapi inilah alasanku menemuinya saat ini.

"Aku..." Kuedarkan pandanganku sejenak sebelum akhirnya kembali menatapnya. "Aku pindah. Aku kemari hanya untuk mengucapkan selamat tinggal." Bisikku yang semakin lirih karena dadaku semakin terasa sesak.

Shawn terdiam sesaat sebelum akhirnya berkata, "selamat tinggal, Amber."

Duniaku terasa sunyi tapi perkatannya terus terlontar di telingaku. Hatiku teriris, udara yang seharusnya kuhirup entah pergi kemana. Kugigit bibir bawahku sampai pada akhirnya satu tetes air mata mengalir di pipiku.

Aku sungguh-sungguh tidak percaya bahwa dia bisa mengatakannya segamblang itu di hadapanku tanpa adanya rasa penyesalan sedangkan aku terlalu berharap lebih. Bahkan disaat-saat terakhirpun aku masih mengharapkan hal yang bodoh.

Kuelus pipiku yang basah, lalu menarik gagang koper untuk bersiap pergi. "Bahkan disaat terakhir pun aku tetap mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin," kukedipkan mataku beberapa kali untuk menghalau air mata. "Kupikir itu adalah yang terakhir kali karena aku tidak akan pernah mengharapkanmu lagi. Selamat tinggal, Shawn."

Aku segera berbalik dan berjalan menuju lift tanpa sekalipun berbalik ke belakang. Aku cukup hebat menahan emosiku sejauh ini tapi ketika aku sudah masuk ke dalam lift, tangisku pecah. Aku menangis layaknya seseorang yang kehilangan anggota keluarga. Kakiku ambruk, tanganku mencengkram gagang koper dengan erat, dan entah bagaimana caranya menghilangkan tangisku untuk saat ini.

•••

Back To You [S•M]On viuen les histories. Descobreix ara